Yusril bercerita, setelah pemungutan suara, ia bertemu dengan sejumlah tokoh penting, termasuk Kiai Abdullah Faqih dari Langitan, ulama kharismatik NU. Mereka menyalami dan berterima kasih.
“Saya mewakili para kiai… sampean sudah ikhlas mundur, memberi kesempatan Gus Dur jadi presiden,” kata Yusril menirukan ucapan para kiai.
Di momen itulah Yusril menyampaikan pesan rekonsiliasi: “Saya ini anak Masjumi… Jadi tolonglah antara anak Masjumi dan anak NU ini jangan ada beban psikologis lagi.”
Ucapan itu sangat bermakna. Masjumi dan NU memiliki sejarah panjang ketegangan sejak era 1950-an. Keputusan Yusril mundur dan penerimaan para kiai menjadi simbol perdamaian dua arus besar Islam Indonesia.
Lebih Dari Strategi: Sebuah Pengorbanan Untuk Bangsa
Dalam podcast tersebut, Mahfud MD menegaskan bahwa Yusril memiliki karakter politik tegas namun rasional. Pada titik kritis itu, Yusril menunjukkan diri sebagai negarawan, bukan sekadar kontestan.
Keputusannya mundur bukan hanya strategi politik, tetapi kesadaran sejarah yang dalam. Tanpa langkah itu, peluang Gus Dur terpilih bisa jauh lebih kecil. Sejarah pun mencatat, pada 20 Oktober 1999, Gus Dur resmi dilantik sebagai Presiden RI ke-4.
Pengakuan Yusril Ihza Mahendra ini menjadi narasi penting tentang Pemilihan Presiden 1999. Kisah ini membuktikan bahwa politik Indonesia pernah memiliki momen di mana ego pribadi dikalahkan untuk persatuan dan kepentingan bangsa yang lebih besar.
Artikel Terkait
Hashim Djojohadikusumo Bantah Isu Lahan Sawit Prabowo: Klarifikasi Lengkap dan Fakta
Bupati Bekasi Ade Kuswara Ditahan KPK, PDIP Sindir Elite Mencla-Mencle
Presiden Prabowo Tegaskan Menteri Harus Setia pada Rakyat, Bukan Individu: Benny K Harman Tanggapi
Gatot Nurmantyo Kritik Perpol 10/2025: Dinilai Bentur UU dan Bentuk Superbodi Polri