Ia menambahkan bahwa gerakan semacam ini biasanya bertujuan untuk membangun persepsi publik bahwa pemerintahan yang baru berjalan tidak kompeten atau tidak demokratis.
“Ada upaya untuk membentuk opini bahwa Prabowo adalah pemimpin otoriter, yang anti-kritik. Padahal, ini lebih kepada framing politik yang dimainkan oleh pihak tertentu,” jelas Amir.
Lebih jauh, Amir menilai bahwa aksi demonstrasi ini bisa menjadi bagian dari strategi politik yang lebih luas, terutama terkait dengan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
“Jika melihat pola ini, salah satu skenario yang mungkin terjadi adalah upaya untuk melemahkan Prabowo agar muncul wacana pergantian kepemimpinan. Dengan begitu, Gibran bisa semakin diperhitungkan sebagai figur yang lebih diterima publik,” paparnya.
Menurut Amir, dalam politik Indonesia, sering kali ada upaya untuk menciptakan tekanan terhadap presiden yang sedang berkuasa agar popularitasnya menurun.
Jika Prabowo terus diserang dengan isu-isu negatif, maka legitimasi pemerintahannya bisa terganggu.
“Dalam beberapa kasus di masa lalu, strategi semacam ini sudah pernah terjadi. Pihak-pihak yang ingin mempercepat pergantian kekuasaan akan memanfaatkan gerakan massa untuk menggiring opini publik,” katanya.
Amir menilai bahwa tantangan terbesar bagi Prabowo ke depan adalah bagaimana ia bisa menjaga stabilitas politik di tengah dinamika yang berkembang.
“Jika Prabowo bisa menunjukkan kepemimpinan yang kuat dan merangkul berbagai elemen, maka skenario pelemahan ini tidak akan efektif. Namun, jika ia gagal mengelola situasi, tekanan politik bisa semakin besar,” pungkasnya.
Sumber: JakartaSatu
Artikel Terkait
Pesan Natal Kardinal Suharyo: Seruan Pertobatan Pejabat di Tengah Maraknya Kepala Daerah Diciduk KPK
Pilkada Lewat DPRD: Hanya Akal-Akalan Elite Politik untuk Kekuasaan?
Pengakuan Yusril Ihza Mundur Demi Gus Dur Jadi Presiden 1999: Fakta Sejarah Terungkap
Hashim Djojohadikusumo Bantah Isu Lahan Sawit Prabowo: Klarifikasi Lengkap dan Fakta