Lantas Selamat Ginting membandingkan kasus Teddy dengan kegagalan militer Mesir di era 1970-an, di mana perwira yang dekat dengan kekuasaan politik diangkat menjadi jenderal tanpa kompetensi, berujung kekalahan memalukan.
“TNI bisa kehilangan marwah jika dipimpin oleh perwira ‘salon’ yang lebih banyak buka-tutup pintu istana daripada medan tempur,” tegasnya.
Dampak terhadap Kredibilitas Prabowo
Ginting memperingatkan, kasus Teddy bisa menjadi preseden buruk yang merusak integritas TNI dan memicu ketidakpercayaan publik.
“Presiden sebagai panglima tertinggi harus tegas mengutamakan kepentingan institusi, bukan kepentingan politik pragmatis,” tandasnya.
Masih Ginting, jika dibiarkan hal ini berisiko mengembalikan TNI ke era “Nagabonar”, di mana kenaikan pangkat didasarkan pada kedekatan politik, bukan meritokrasi.
“Ini main-main, TNI kita kembali ke jaman Naga Bonar, memalukan,” ujarnya tegas.
Sorotan terhadap karier Teddy terus menguat, terutama setelah ia dianggap tidak pernah menjalani tugas operasional sebagai Kopasus, seperti penugasan di Papua, dan lebih banyak terlibat dalam tugas protokoler istana.
Teddy Indra Wijaya sebelumnya dikenal sebagai ajudan mantan Menhan Prabowo dan Presiden Jokowi.
Kasus ini menyoroti kompleksitas hubungan sipil-militer di Indonesia pasca-Reformasi, sekaligus menguji komitmen Prabowo dalam menjaga netralitas TNI.
Sumber: JakartaSatu
Artikel Terkait
KPK Wajib Periksa Jokowi dan Luhut Terkait Kasus Korupsi Proyek Whoosh, Ini Alasannya
Update Kasus Ijazah Jokowi: Gelar Perkara Segera Digelar, Satu Terlapor Belum Diperiksa
KPK Didorong Periksa Jokowi & Luhut di Kasus Whoosh, Begini Kata Pakar Hukum
Halim Kalla Belum Ditahan, Ini Kronologi Lengkap Kasus Korupsi PLTU Kalbar yang Rugikan Negara Rp 1,2 Triliun