"Ada kritik bahwa orang-orang yang ditempatkan di kementerian strategis terkait sumber daya alam adalah orang-orang yang memiliki kaitan dengan perusahaan besar," tegas Bivitri.
Pernyataan ini secara langsung menyentil potensi konflik kepentingan yang sangat besar.
Ketika regulator memiliki afiliasi dengan industri yang seharusnya mereka awasi, publik pantas curiga: untuk siapa kebijakan dibuat?
Kekhawatiran ini semakin relevan jika melihat fakta bahwa kekayaan alam Indonesia yang melimpah seringkali hanya dinikmati oleh segelintir pihak, sementara rakyat di sekitar wilayah tambang atau perkebunan justru hidup dalam kemiskinan dan menghadapi kerusakan lingkungan.
Penempatan pejabat yang terafiliasi korporasi dianggap memperkuat narasi bahwa negara telah tersandera oleh kepentingan kapital.
Alarm untuk Pemerintahan Baru: Audit SDA dan Benahi DPR Jadi Kunci
Kritik tajam ini menjadi alarm keras bagi pemerintahan selanjutnya.
Bivitri menekankan adanya dua agenda mendesak yang harus segera dilakukan untuk memperbaiki kerusakan yang ada.
Pertama, membenahi proses legislasi agar lebih transparan dan partisipatif.
"Perlu ada perbaikan dalam proses legislasi di DPR," ujarnya.
Kedua, melakukan audit total terhadap pengelolaan sumber daya alam untuk menghentikan eksploitasi yang membabi buta.
Lebih dari itu, ia menuntut keberpihakan yang jelas dari negara.
"Pemerintah diharapkan lebih berpihak pada rakyat dalam pengelolaan sumber daya alam dan penyelesaian konflik."
Sumber: Suara
Artikel Terkait
Fakta MAF Viral: Bukan Anak Propam & Mobil Bukan Barang Bukti Polisi
ICW Sindir KPK Masuk Angin soal Bobby Nasution: Menantu Jokowi Belum Diperiksa Kasus Suap Proyek Jalan Rp165,8 M
Roy Suryo Tolak Mediasi Kasus Ijazah Jokowi: Tidak Ada Perdamaian dengan Kepalsuan
KPK Kembalikan Rp883 Miliar ke PT Taspen, Hasil Rampasan Kasus Korupsi Investasi Fiktif