3 Misteri Besar Dalam Abolisi Tom Lembong dan Amnesti Hasto Kristiyanto

- Rabu, 06 Agustus 2025 | 14:45 WIB
3 Misteri Besar Dalam Abolisi Tom Lembong dan Amnesti Hasto Kristiyanto


Ada kesan, seolah-olah istana lah yang justru menghambat penegakan hukum terhadap kasus korupsi itu sendiri.


Anggapan ini harus dikoreksi, caranya sekali lagi nasib Tom Lembang sudah selesai, tetapi nasib kasusnya menurut Reza masih layak untuk ditindaklanjuti.


Begitu pula dalam kasus Hasto, Hasto sudah divonis bersalah. Nemang berkat amnesti Hasto tidak lagi harus menjalani hukuman penjara atau denda atau lainnya.


Bukankah Jaksa juga sudah bekerja untuk membuktikan Hasto telah melakukan suap, bukti-bukti, saksi-saksi, sudah dicatat sedemikian rapi di dalam BAP, berita acara pemeriksaan, tersimpan dengan rapi dan sudah diuji sebagai berkas dakwaan di persidangan.


“Sayang bukan, kalau hasil kerja spektakuler itu ternyata diabaikan begitu saja,” terangnya.


Mungkin juga perlu dicari tahu, apakah keputusan Hasto memberikan suap itu murni dari dirinya sendiri, ataukah ada pengaruh, ada tekanan, ada perintah, ada arahan, ada instruksi dari pihak lain?.


Nah yang namanya korupsi sistemik, memang perlu ditelusuri hingga ke akar-akarnya.


Agar bisa ditelusuri hingga ke akar-akarnya, sekali lagi, nasib Hasto sudah selesai, tetapi nasib kasusnya menurutnya pantas untuk dipertimbangkan agar ditindaklanjuti guna membongkar korupsi hingga ke titik yang paling mendasar ke akar-akarnya.


Ketiga, kalau kata menteri hukum Amnesti dan Abolisi itu diberikan untuk tujuan mempersatukan elemen bangsa, menciptakan harmoni rekonsiliasi, pertanyaan rekonsiliasi antara siapa dengan siapa.


Dalam pidana, ketika ada rekonsiliasi, ini seketika mengingatkan Reza pada istilah Restoratif Justice.


Restoratif Justice atau keadilan restoratif, tidak berfokus pada menjatuhkan hukuman kepada pelaku, bukan itu, itu Retributif Justice, keadilan balas dendam.


Keadilan restoratif, bicara tentang bagaimana antara pelaku kejahatan bisa dirukunkan dengan korban kejahatan, sehingga tercipta kehidupan masyarakat yang lebih baik lagi.


Bukan bicara tentang hukuman, tetapi menciptakan tata kehidupan masyarakat yang lebih harmonis.


“Dengan kerangka berpikir semacam ini, maka bolehlah saya bertanya, rekonsiliasi yang ingin dicapai lewat amnesti dan abolisi, ingin merekonsiliasikan, ingin merukunkan, ingin mendamaikan antara siapa dengan siapa? Ketika ada orang yang divonis bersalah dalam kasus korupsi, maka terdakwa yang sudah divonis bersalah ini ingin didamaikan, ingin dirukunkan dengan siapa? Saya tidak tahu,” ungkapnya.


Atas dasar itu, kendati terdengar sangat luhur ditelinga yaitu demi persatuan, demi harmoni, demi rekonsiliasi, tetapi hati kecil ya merasa tetap bertanya-tanya.


“Sesungguhnya, secara konkrit ini mau mempersatukan antara siapa dengan siapa? Mau mengharmoniskan siapa dengan siapa? Mau merekonsiliasi, mau merukunkan siapa dengan siapa? Lagi-lagi tidak terjawab,” ujarnya.


“Apa boleh buat, pada akhirnya saya ingin menarik kesimpulan seperti ini, bahwa dari sisi politik amnesti dan abolisi tampaknya memang merupakan upaya konstruktif untuk mengoreksi proses penegakan hukum yang dianggap sudah compang camping akibat adanya intervensi kekuasaan, itu dari sisi politik,” jelasnya.


Namun dari sisi hukum, dirinya mengaku was-was, bahwa amnesti dan abolisi bagi terdakwa korupsi justru meletakkan sebuah preseden buruk bagi prospek pemberantasan korupsi Indonesia kedepannya.


“Benarkah ini kado indah dalam rangka hari kemerdekaan kita tahun ini, tanda tanya,” tandasnya.


Sumber: JPNN

Halaman:

Komentar