Membaca Sikap Batin dan Verbal Putra Mahkota Keraton Solo: 'Penyesalan Bergabung Dengan Republik'
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
Dalam dinamika sejarah Indonesia, peran kerajaan-kerajaan Nusantara dalam proses pembentukan Republik Indonesia merupakan suatu bab yang penuh dengan kompromi politik.
Salah satu kerajaan yang memiliki keterlibatan signifikan dalam proses ini adalah Keraton Kasunanan Surakarta.
Namun, baru-baru ini, muncul pernyataan dari Putra Mahkota Keraton Solo yang mencerminkan penyesalan mendalam atas keputusan bergabung dengan Republik.
Pernyataan ini bukan sekadar refleksi sejarah, tetapi juga kritik terhadap situasi perpolitikan nasional saat ini yang semakin jauh dari nilai-nilai luhur yang dahulu menjadi fondasi berdirinya bangsa ini.
Kompromi Kerajaan dalam Pembentukan Republik
Sejak awal kemerdekaan, Keraton Surakarta dan Yogyakarta menghadapi dilema besar: mempertahankan eksistensi sebagai kerajaan yang otonom atau bergabung dengan Republik Indonesia yang baru terbentuk.
Yogyakarta, di bawah kepemimpinan Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Paku Alam VIII, memilih berintegrasi dengan Republik dengan syarat khusus sebagai daerah istimewa.
Sebaliknya, Keraton Surakarta mengalami berbagai gejolak politik yang pada akhirnya menyebabkan status istimewanya dicabut oleh pemerintah pada tahun 1946.
Dalam konteks ini, Putra Mahkota Keraton Solo mengungkapkan perasaan batin yang menggambarkan kekecewaan mendalam terhadap keputusan politik masa lalu, yang semakin diperparah oleh kondisi perpolitikan nasional saat ini.
Ungkapan yang ia sampaikan bukan sekadar kritik biasa, tetapi sebuah bentuk ekspresi yang bersumber dari kesadaran sejarah dan tanggung jawab terhadap warisan leluhur, yang kini terasa semakin dipinggirkan oleh kepentingan politik pragmatis.
Majas dalam Pernyataan Putra Mahkota
Jika kita menelaah ungkapan yang dilontarkan oleh Putra Mahkota, terdapat indikasi penggunaan majas yang mencerminkan rasa kecewa atau bahkan kemarahan terselubung.
Dalam budaya Jawa, khususnya di lingkup keraton, komunikasi tidak selalu bersifat eksplisit.
Sebaliknya, orang Jawa sering menggunakan bahasa kromo inggil yang sarat dengan sindiran dan metafora halus.
Dalam hal ini, beberapa majas yang kemungkinan digunakan oleh Putra Mahkota antara lain:
Artikel Terkait
Wisata Budaya Kalimantan Selatan: Panduan Lengkap Banjar & Dayak 2024
Kadishub Medan Ditahan di Rutan Tanjung Gusta, Terkait Korupsi Medan Fashion Festival 2024 Rugikan Negara Rp1,132 Miliar
AS Tetapkan Grup Surga Venezuela Sebagai Teroris: Dampak Invasi & Analisis Lengkap
Viral TikTok Live Julia: Kata Kunci Liar, Klarifikasi Gagal, dan Fakta Lengkap