1. Majas Ironi – Mengungkapkan sesuatu dengan makna yang bertolak belakang. Misalnya, jika ia mengatakan bahwa bergabung dengan Republik adalah keputusan terbaik, bisa jadi itu adalah sindiran bahwa keputusan tersebut justru merugikan keraton dan kini diperparah oleh perpolitikan nasional yang semakin jauh dari cita-cita kemerdekaan.
2. Majas Litotes – Merendahkan sesuatu untuk menyampaikan makna yang lebih besar. Misalnya, jika ia berkata bahwa “keraton hanya tempat bermain sejarah,” itu bisa berarti bahwa eksistensi keraton telah direduksi menjadi sekadar simbol tanpa kekuasaan nyata di tengah sistem politik yang lebih mementingkan kepentingan kelompok tertentu.
3. Majas Metafora – Menggunakan perumpamaan untuk menggambarkan kondisi keraton pasca bergabung dengan Republik. Bisa saja ia mengibaratkan keraton seperti ‘perahu tanpa nahkoda’ untuk menegaskan ketidakberdayaan setelah kehilangan status istimewa, sama seperti Indonesia saat ini yang kehilangan arah akibat kepemimpinan yang lebih mementingkan oligarki dibanding kesejahteraan rakyat.
Budaya Kromo Inggil dan Ungkapan Kekecewaan
Dalam konteks budaya kromo inggil, sikap batin yang ditampilkan oleh Putra Mahkota lebih mencerminkan kesantunan, tetapi tidak kehilangan daya kritiknya.
Kekecewaan atau kemarahan dalam budaya Jawa jarang diekspresikan secara frontal, melainkan melalui ungkapan-ungkapan yang penuh dengan nuansa kebijaksanaan.
Misalnya, alih-alih mengatakan secara langsung bahwa keputusan bergabung dengan Republik adalah kesalahan, ia mungkin akan menyatakan, “Panjenengan sampun mirsani dalan kados pundi kita nampi baline sejarah?” (Apakah Anda sudah melihat ke mana arah sejarah membawa kita?)
Ungkapan seperti ini lebih berbobot dan menuntut perenungan mendalam daripada sekadar luapan emosi belaka.
Dalam kearifan Jawa, pemimpin yang marah tidak serta-merta menggebrak meja, tetapi menyampaikan ketidakpuasan dengan cara yang lebih halus, namun tajam.
Sikap seperti ini tidak hanya mempertahankan kehormatan, tetapi juga menjadi bentuk tanggung jawab sosial sebagai bagian dari kebudayaan aristokratik Jawa.
Kesimpulan: Apakah Penyesalan Itu Berarti Menyesali Sejarah?
Penyesalan yang diungkapkan oleh Putra Mahkota Keraton Solo bukanlah sekadar nostalgia akan kejayaan masa lalu, tetapi juga refleksi terhadap perubahan sistem yang menggerus eksistensi kerajaan-kerajaan Nusantara.
Namun, sejarah tidak bisa diulang. Kompromi yang membentuk Republik Indonesia adalah final.
Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah, bagaimana kerajaan-kerajaan tradisional dapat tetap relevan dalam kerangka negara modern?
Jika pernyataan Putra Mahkota dimaknai lebih dalam, mungkin bukan sekadar penyesalan pribadi, melainkan panggilan untuk menata ulang hubungan antara tradisi dan negara.
Namun, dalam konteks perpolitikan nasional yang semakin sarat dengan kepentingan oligarki dan mengabaikan nilai-nilai luhur yang diwariskan para leluhur, pertanyaan yang lebih besar muncul: apakah keputusan bergabung dengan Republik benar-benar membawa kebaikan bagi semua?
Ataukah hanya menjadi alat bagi segelintir elite untuk mengokohkan kekuasaan mereka?
Karena pada akhirnya, baik kerajaan maupun Republik, keduanya adalah bagian dari sejarah bangsa yang tidak terpisahkan, tetapi kini berada dalam posisi yang semakin terdistorsi oleh kepentingan politik. ***
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
Kontroversi Anggaran Filipina 2025: Korupsi Infrastruktur vs Kesejahteraan Rakyat
Skandal IMIP: Bandara Ilegal & Dugaan Ekspor Nikel Rp14,5 Triliun Diumkap Said Didu
Wisata Budaya Kalimantan Selatan: Panduan Lengkap Banjar & Dayak 2024
Kadishub Medan Ditahan di Rutan Tanjung Gusta, Terkait Korupsi Medan Fashion Festival 2024 Rugikan Negara Rp1,132 Miliar