Pemakzulan Wapres Gibran dan Kasus Ijazah Jokowi: Sebuah Psikologi Politik

- Sabtu, 17 Mei 2025 | 08:25 WIB
Pemakzulan Wapres Gibran dan Kasus Ijazah Jokowi: Sebuah Psikologi Politik


Pemakzulan Wapres Gibran dan Kasus Ijazah Jokowi: 'Sebuah Psikologi Politik'


SETELAH Pemilu 2024, Indonesia tidak hanya mewarisi hasil elektoral, tetapi juga residu psikologis yang belum terselesaikan. 


Dua isu yang mengemuka dalam beberapa hari terakhir –wacana pemakzulan Wapres Gibran dan kebangkitan kembali isu ijazah palsu Jokowi –tidak bisa dibaca semata sebagai reaksi terhadap prosedur hukum atau norma konstitusional. 


Bagaimana tidak, kita tahu proses pemakzulan wakil presiden tidak bisa dilakukan secara gegabah, tetapi hanya bisa dilakukan jika presiden atau wakil presiden terbukti melanggar hukum berat seperti korupsi, pengkhianatan negara, atau tindakan pidana lainnya (UUD 1945 Pasal 7A dan 7B). 


Prosesnya pun berlapis, melibatkan tiga institusi antara DPR, MK dan MPR (Asshiddiqie, 2006). 


Sementara itu, isu ijazah palsu Jokowi sejatinya kasuistis ”klise” sejak 2022 dan telah berulang kali terbantahkan, baik melalui Pengadilan Negeri Solo, Mahkamah Agung, maupun UGM yang memberikan klarifikasi (Kompas, 2025). 


Artinya, memahami wacana di atas tidak sekadar melalui kacamata normatif-prosedural, tetapi juga menyangkut beban psikologis yang belum tuntas.


Tuntutan pemakzulan Gibran lebih dilandasi desakan moral dan simbolis untuk ”mengoreksi sejarah”. 


Sebagian masyarakat belum begitu saja melepaskan rasa kekecewaan terhadap berbagai kontroversi saat kontestasi Pemilu 2024, baik pilpres maupun pilkada, yang diwarnai manuver-manuver politik yang sarat dengan relasi politik dinasti Jokowi. 


Di dalam psikologi politik, itu dikenal sebagai retrospective political justice. 


Yakni, keinginan masyarakat untuk membalas atau menebus pengalaman politik yang dirasa tidak adil. 


Melemparkan wacana pemakzulan menjadi mekanisme katarsis politik, untuk mengembalikan rasa keadilan yang diyakini hilang akibat proses pemilu yang cacat secara etika.


Menurut David Patrick Houghton (2009), psikologi politik berakar dari reaksi publik yang digerakkan oleh persepsi terhadap ketidakadilan, pengkhianatan nilai-nilai, dan kehilangan fungsi kontrol atas proses demokrasi. 


Ketika sebagian rakyat percaya bahwa Pilpres 2024 telah ”dirusak” oleh putusan Mahkamah Konstitusi (terkait syarat usia capres/cawapres) dan menganggap keterpilihan Gibran sebagai hasil konspirasi konflik kepentingan elitis, wacana pemakzulan sekali lagi bukanlah hanya tentang hukum, melainkan simbol perlawanan atas ketidakadilan.


Usulan pemakzulan Gibran, yang mencuat pada April 2025 dan didorong oleh elemen masyarakat sipil, termasuk Forum Purnawirawan TNI, lahir dari situasi psikologis tersebut. 


Gibran menjadi persoalan bukan semata kualitas personal atau program kebijakan yang ia bawa, melainkan karena relasi genealogis –anak dari Presiden Joko Widodo –yang kemudian dihubungkan dengan dugaan intervensi kekuasaan (cawe-cawe) dalam proses konstitusional dan elektoral yang telah kita lalui bersama tahun lalu. 

 

Tidak cukup sekali, tapi juga terkait Pilkada 2024, saat putra bungsunya –Kaesang Pangarep– tiba-tiba saja menjadi ketua umum PSI dan digadang-gadang masuk kontestasi pilkada melalui skenario perubahan regulasi terkait usia yang akan digedok di DPR, meski akhirnya dibatalkan oleh sejumlah aksi massa.

 

Norma di dalam pemilu sebagaimana yang disampaikan Robert Dahl (1971) mencakup keadilan prosedural dan akses setara terhadap kekuasaan. 


Maka, ketika prosedur konstitusional dimanipulasi untuk melayani kepentingan keluarga penguasa, kita sedang menyaksikan gejala oligarki dalam bentuk demokrasi elektoral yang dikendalikan elite. 


Hadiz dan Robison (2013) juga mengelaborasi fenomena dalam banyak negara pasca-otoriter seperti Indonesia, oligarki tidak menghilang, tetapi bertransformasi melalui institusi demokrasi. 


Publik kemudian membaca bahwa politik dinasti adalah manifestasi dari proses itu, keluarga politik membentuk jaringan kekuasaan yang mereproduksi dirinya sendiri melalui pemilu, hukum, dan demokrasi. 


Halaman:

Komentar