Gaya Jetset Komisioner KPU Berujung Laporan Dugaan Korupsi ke KPK

- Senin, 19 Mei 2025 | 16:45 WIB
Gaya Jetset Komisioner KPU Berujung Laporan Dugaan Korupsi ke KPK


'Gaya Jetset Komisioner KPU Berujung Laporan Dugaan Korupsi ke KPK'


Komisioner KPU menikmati apartemen, rumah dinas, mobil mewah, hingga private jet selama pelaksanaan Pemilu 2024. Gaya jetset ini dinilai tak layak hingga berujung laporan dugaan korupsi ke KPK.


***


Sebuah ruangan di dekat sudut lantai dua gedung Graha Dirgantara, Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, tampak sepi. Tak tampak aktivitas di sana meski terhitung hari kerja, Kamis (15/5). Ruangan berdinding kaca di situ terlihat gelap dari luar meski peralatan kantor di dalamnya terlihat masih tertata rapi.


Lorong menuju ruangan tersebut pun remang. Hanya ada sebuah lampu yang menerangi bagian depan kantor dan menampakkan plang di atas dinding kaca depan yang bertuliskan Alfa5 Aviation.


Ruangan petak itu merupakan kantor PT Alfalima Cakrawala Indonesia. Alfalima adalah perusahaan yang bergerak di bidang penyewaan pesawat jet. Ia mendapatkan dua kontrak penyewaan jet untuk pimpinan Komisi Pemilihan Umum yang kini dipersoalkan ke KPK.


Ketika kumparan mengunjungi lokasi Kamis itu, salah satu petugas keamanan menyatakan bahwa kantor tersebut sudah empat bulan tidak membayar sewa. Ia bilang, “Perusahaannya bangkrut sejak bulan Maret.”


“Barang-barang enggak boleh diambil oleh pemiliknya [gedung] sampai semua utang sewa dibayar,” timpal petugas keamanan tersebut.


Berdasarkan penelusuran pada sistem Aplikasi Monitoring dan Evaluasi Lokal (AMEL) Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) KPU, Alfalima mendapatkan dua paket pengadaan jasa jet pribadi dari KPU.


Dua dokumen kontrak masing-masing bertanggal 6 Januari 2024 dengan nilai kontrak sekitar Rp 40,19 miliar, dan kontrak tertanggal 8 Februari 2024 dengan nilai Rp 25,3 miliar. Dua kontrak ini disinyalir untuk fasilitas Komisioner KPU rentan Januari–Februari 2024.


Jika ditotal, nilai kontrak tersebut mencapai Rp 65 miliar lebih.


Kontrak ini kemudian menuai sorotan dan dianggap janggal. Sebab bila ditelusuri melalui Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan (SIRUP) Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) tertulis bahwa pagu anggaran untuk pengadaan paket berkode 53276949 tersebut hanya 46,19 miliar. Artinya, ada selisih sekitar Rp 19 miliar dari pagu dan realisasi kontrak.


Dugaan Mark Up dan Penyalahgunaan Private Jet


Atas kejanggalan selisih tersebut, Transportasi Internasional Indonesia (TII) bersama Themis Indonesia dan Trend Asia melaporkan KPU ke Komisi Pemberantasan Korupsi atas dugaan korupsi pengadaan dan penggunaan pesawat jet. TI menyebut ada dugaan penggelembungan anggaran dan penyalahgunaan fasilitas negara.


Selain mark up, TII juga mencurigai ada praktik suap alias kickback karena kontrak pengadaan dilakukan dengan cara tertutup. Alfalima yang dipilih KPU tergolong baru, dibentuk tahun 2022. KPU tidak hanya memilih sekali, tapi dua kali. Padahal TII menilai Alfalima tidak punya reputasi sebagai penyedia, bahkan perusahaan Alfalima tak bisa diakses di situs e-katalog yang menjadi aplikasi belanja daring pemerintah.


Kejanggalan yang ditemukan TII dkk dalam kontrak tersebut adalah pengumuman paket pengadaan, sesuai dalam dokumen laman SIRUP, dilakukan pada 1 November 2024. Sementara pelaksanaan sewa jet pribadi sudah sejak Januari dan Februari 2024.


Secara runutan waktu, pengumuman sewa jet terjadi setelah pesawatnya dipakai. “Kami ada kekhawatiran terjadinya kickback,” kata peneliti TII Agus Sarwono kepada kumparan, Rabu (14/5).


“Juga ditemukan indikasi mark up karena nilai kontraknya melebihi dari jumlah pagu yang telah ditetapkan,” tambah Agus.


Kejanggalan lain yang diduga penyalahgunaan fasilitas yakni pesawat jet pribadi tersebut termasuk dalam satuan paket bernama “Belanja Sewa Dukungan Kendaraan Distribusi Logistik”. Sementara belakangan terungkap bahwa jet itu digunakan komisioner untuk monitoring. Jadi, judulnya “distribusi logistik” tapi penggunaannya untuk monitoring.


“Kalau memang untuk distribusi, kan harusnya pakai kargo,” kata Agus.


TII menganggap tindakan komisioner menggunakan jet untuk monitoring tidak lazim. Padahal, lanjut Agus, bila sekadar monitoring, KPU pusat bisa mempercayakan KPU provinsi. Bila terpaksa turun lapangan, komisioner KPU bisa menggunakan penerbangan komersial.


Pesawat komersial akan menghemat biaya. Dalam hitungan TII, bila KPU terbang ke 35 provinsi menggunakan pesawat biasa hanya akan menghabiskan anggaran sekitar Rp 2,2 miliar, pulang-pergi untuk 13 orang. Hitungan ini berdasarkan satuan biaya tiket pesawat perjalanan dinas dalam negeri dan luar negeri yang tertuang pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 49 tahun 2023 tentang Standar Biaya Masukkan Tahun 2024 dengan estimasi harga tertinggi di kelas bisnis.


Biaya Rp 2,2 miliar di atas tidak termasuk akomodasi hotel dan transportasi darat di daerah. Tapi setidaknya, secara angka, nilainya jauh lebih hemat dari penyewaan jet pribadi yang mencapai Rp 65 miliar.


“Artinya terjadi selisih yang cukup besar, [bisa hemat] Rp 63 miliar,” kata Agus.


Selain biaya lebih mahal, TII menyebut penggunaan pesawat jet oleh KPU untuk perjalanan dinas melanggar Peraturan Menteri Keuangan 113/PMK.05/2012 jo PMK No.119 Tahun 2023 tentang Perjalanan Dinas Dalam Negeri bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri, dan Pegawai Tidak Tetap.


Aturan ini menyebutkan, perjalanan dinas bagi pimpinan lembaga negara dan eselon I yang menggunakan pesawat udara hanya boleh menggunakan kelas bisnis untuk dalam negeri. Sementara luar negeri maksimal first class atau eksekutif. Adapun pejabat eselon II ke bawah menggunakan kelas yang lebih rendah.


“Penggunaan private jet untuk perjalanan dinas bertentangan dengan peraturan Menteri Keuangan tersebut,” tegas TII.


Fakta lain yang ditemukan TII dan Trend Asia adalah ternyata 60% dari 40 daerah tujuan private jet KPU bukan termasuk daerah 3T: tertinggal, terluar, terdalam. Mayoritas rute yang ditempuh adalah daerah yang punya akses penerbangan komersial. Padahal dalam rapat bersama Komisi II DPR RI akhir 2024 lalu, KPU menjelaskan bahwa penggunaan jet pribadi untuk wilayah yang sulit dijangkau.


Kejanggalan berikutnya, penggunaan jet terjadi pada rentan waktu di mana distribusi logistik sudah rampung, yakni hingga Maret 2024.


Dari penelusuran TII di LPSE KPU, ternyata ada kontrak lain pada 8 Maret 2024 senilai Rp 2,10 miliar. Tapi dalam LPSE tidak tercantum nama perusahaan penyedia. Hanya tertulis nama paket: “Pengadaan Sewa Jasa Penerbangan Charter Dalam Rangka Persiapan Monitoring Pemungutan Suara Ulang Di Kuala Lumpur”.


Artinya, total ada 3 kontrak penggunaan private jet yang diteken KPU sepanjang 2024. Alhasil, tulis TII dalam keterangannya, “Ada indikasi private jet digunakan bukan untuk kepentingan pemilu.”


Sekretaris Jenderal KPU Bernad Dermawan Sutrisno menghargai laporan TII ke KPU. Menurutnya, itu adalah hak masyarakat melakukan pengaduan. Namun pihaknya siap mempertanggungjawabkan dan menerangkan ke KPK bila diminta.


Bernad membantah KPU disebut berperilaku hedonis dan menyalahgunakan fasilitas negara, termasuk private jet. Ia menjelaskan, keputusan menggunakan private jet merupakan kesepakatan semua komisioner KPU dan diputuskan dalam rapat pleno. Pertimbangannya adalah masa pengadaan dan produksi logistik Pemilu 2024 sangat singkat, sehingga mereka perlu turun langsung memastikan logistik terpenuhi ke seluruh Indonesia, termasuk daerah yang punya potensi dan dinamika yang kompleks: daerah terluar dan wilayah dengan daftar pemilih tetap (DPT) yang tinggi.


Ia menyebut, KPU saat itu dihantui kesiapan logistik yang harus sampai di TPS pada hari-H. Sebagai pelaksana, mereka punya ketakutan gagal seperti Pemilu 2019. Padahal pemilu lima tahun sebelumnya itu punya waktu pengadaan, produksi, dan distribusi alat kelengkapan pemilu lebih panjang, yakni 263. Sementara Pemilu 2024 hanya diberi waktu 75 hari.


Sehingga komisioner menganggap monitoring logistik tak cukup hanya dilakukan KPU provinsi. KPU pusat perlu turun tangan, sidak, dan memastikan logistik terpenuhi dan sampai ke daerah-daerah.


Karena waktu sidak juga terbatas, maka KPU memutuskan menggunakan pesawat jet. Agar bisa menjangkau lebih banyak tempat. Efisiensi waktu.


“Makanya di akhir Januari, Februari, kita memastikan bahwa kita harus cek langsung. Sidak istilahnya. Jadi kita sidak, ya menggunakan pesawat jet tadi. Kenapa menggunakan pesawat jet? Karena memang dari sisi tempat itu memang, waktu,” jelas Bernad kepada kumparan, Kamis (15/5).


KPU saat itu, lanjut Bernad, diburu waktu. Mobilitas harus terukur dan efektif. Ia mencontohkan saat tim KPU ke Papua. Mereka menyidak 4 sampai 5 provinsi dalam sehari. Bila tak menggunakan jet, waktu mereka akan terbuang di perjalanan. Perjalanan biasa ke Papua bisa menghabiskan waktu 1–2 hari. Itu pun hanya di satu daerah.


Bernad mengatakan, situasi sekarang dan dulu saat mereka bekerja pada masa puncak Pemilu 2024 berbeda jauh.


“Kalau kondisi normal sekarang, saya juga mungkin [berpikir] ketika ada putusan pleno, ‘Harus pesawat jet,’ ya ngapain? Saya nggak mau juga. Itu kalau dalam situasi normal sekarang,” ujar Bernad.


Pemilihan dan keputusan penggunaan jet, tegasnya, berdasarkan kebutuhan dan efektivitas waktu.


“Kecuali hari ini kita sewa yang enggak ada tahapan [Pemilu], enggak ada situasi itu, [lalu - red] sewa pesawat jet, mungkin bisa dibilang hidup mewah, bermewah-mewah. Pada saat itu ya pilihannya enggak ada pilihan [selain sewa jet],” tambah Bernad.


KPU mendefinisikan sidak merupakan bagian dari dukungan distribusi logistik. Dari itu, KPU menggunakan pagu distribusi logistik untuk menyewa jet, yang kemudian digunakan monitoring. Memastikan logistik sampai tiba tepat waktu.


“Logistik itu kan bukan hanya persoalan ngirim barangnya,” kata Deputi Bidang Dukungan Teknis KPU, Eberta Kawima, menimpali penjelasan Bernad.


Sidak dianggap termasuk dukungan ketersedian logistik sampai ke daerah. Bagi KPU, sidak memberi efek ke KPU daerah agar mempercepat logistik. “Efek psikologis,” tambah Bernad.


Mengenai anggaran sewa pesawat jet, KPU membantah adanya indikasi mark up. Kepala Biro Logistik KPU, Novy Hasbhy Munnawar, mengatakan, nilai kontrak yang disampaikan TII merupakan data terbalik. Tidak ada selisih angka antara pagu anggaran dan realisasi.


Novy menyatakan pagu yang benar Rp 65 miliar, kemudian yang dibayarkan ke penyedia pesawat Rp 46 miliar. Bahkan mulanya, lanjut Novy, pagunya sekitar Rp 90 miliar, tapi ada perubahan demi efisiensi untuk pendanaan logistik lainnya.


“Itu sebenarnya terbalik,” kata Bernad menimpali.


“Rp 65 [miliar] pagunya, dibayarnya 46 [miliar rupiah]. Jadi itu [laporan TII] kebalik,” tegas Eberta.


KPU juga mengklaim transparan dalam membuka kontrak kerja. Mereka menyebut telah melakukan survei dua jasa penyedia jet lainnya sebelum akhirnya memilih Alfalima. Alfalima dipilih karena negosiasi hanya membayar per jam terbang disepakati pihak penyedia. Penyewaan dihitung per pemakaian, bukan booking time Januari sampai Februari.


KPU bahkan mengklaim sudah berkomunikasi dengan LKPP sebelum pengadaan. “Kenapa kemudian SIRUP-nya [baru diumumkan] November 2024 karena ada revisi DIPA [Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran],” terang Novy.


Versi KPU, ada dua jet yang disediakan Alfalima dan siap terbang saat dibutuhkan. Yang menggunakan bukan hanya komisioner tapi juga tim kesekjenan. “Pake semuanya. Enggak satu komisioner aja,” kata Bernad.


KPU tidak membenarkan bahwa total ada tiga kontrak penyewaan private jet. Termasuk pada Maret 2024.


“Awal Maret masih ada. [PSU] Malaysia, Kuala Lumpur. Itu kan bersama dengan kita rekap nasional di sini. PPLN Malaysia itu kan ditersangkakan. Makanya dilakukan pemungutan suara ulang, rekomendasi Panwas, Bawaslu, itu tujuh-tujuhnya posisi kosong, diambil alih oleh KPU RI,” jelas Bernad.


Sekjen KPU menegaskan keputusan penggunaan pesawat jet berdasarkan kebutuhan mendesak. Berdasarkan kesepakatan rapat pleno dan dilakukan secara hati-hati dan transparan.


“Bukan berarti bahwa selama periode itu seluruh perjalanan kita menggunakan jet, enggak. Hanya di waktu-waktu tertentu aja yang logistik. Kalau yang biasanya ya, pakai reguler,” imbuhnya.


Penjelasan Bernad senada dengan yang disampaikan Hasyim Asy'ari, Ketua KPU yang saat itu memimpin Pemilu 2024 hingga kemudian terkena vonis etik. Kata Hasyim, alasan menyewa jet karena waktu kampanye sangat singkat.


Mereka menganggap pesawat jet adalah jawaban dan langkah strategis mendukung distribusi logistik. Katanya, saat itu, tidak semua daerah bisa dijangkau penerbangan komersial. Bila ada, jadwal penerbangnya tidak setiap hari.


“Private jet itu dalam rangka untuk membedakan dengan pesawat komersil,” kata Hasyim kepada wartawan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jumat (16/5).


KPU sebenarnya sudah menjelaskan alasan penggunaan private jet. Termasuk saat rapat dengar pendapat dengan DPR pada September 2024. Tapi alasan yang diberikan dianggap mengada-ada.


Monitoring menggunakan jet pribadi tidak lazim. Baru terjadi di zaman Hasyim Asy'ari.


Halaman:

Komentar