Untuk hal terakhir ini bisa dilihat dari bahasa tubuh dua penyelidik yang mewawancarai Jokowi selama satu jam untuk 22 pertanyaan.
Dari foto yang beredar luas di media sosial, kedua penyelidik seperti tidak percaya diri menghadapi Jokowi.
Penyelidik menunjukkan bahasa tubuh seolah-olah sedang menghadap atasan—hal yang seharusnya tidak terjadi.
Absennya imparsialitas Bareskrim sebagai penegak hukum bisa dikenali lebih jauh dari hasil “uji forensik” yang sangat menguntungkan Jokowi.
Sampel yang dijadikan pembanding untuk membandingkan ijazah Jokowi cuma tiga ijazah lain. Ini sangat mencurigakan karena publik tidak tahu ijazah siapa saja yang dipakai.
Bila ketiga ijazah yang dipakai sebagai pembanding adalah para “alumni” yang selama ini diajak Jokowi untuk reuni—atau sampel dari kolam yang sama—maka sama juga bohong. Seharusnya Bareskrim menyebutkan nama pemilik ketiga ijazah itu.
Tidak cuma itu, Bareskrim juga berani melakukan hal yang sangat fatal dalam konferensi pers yang disaksikan oleh 270 juta rakyat Indonesia itu. Yaitu tidak menampilkan ijazah asli Jokowi yang diklaim telah diuji forensik.
Seharusnya Bareskrim menampilkan ijazah Jokowi itu, sama seperti mereka menampilkan alat-alat bukti dalam kasus-kasus lainnya.
Publik bertanya-tanya mengapa Bareskrim hanya menampilkan fotokopi ijazah di layar, bukan ijazah asli dalam bentuk fisiknya.
Hal paling penting dari semua kejanggalan di atas adalah Bareskrim tidak menampilkan hasil uji forensiknya.
Seharusnya Bareskrim membuka ke publik bagan lengkap mengenai unsur kimia uji karbon ijazah Jokowi yang menunjukkan usia kertas ijazah dan hal-hal lain yang terkait. Begitu juga dengan hasil analisis kandungan kimia berbagai tipe tinta yang dipakai dalam ijazah.
Namun itu tidak dilakukan oleh Bareskrim. Publik dipaksa untuk percaya begitu saja terhadap absennya data ilmiah dalam pengujian ini.
Bareskrim menampilkan banyak sekali dokumen untuk mendukung klaimnya bahwa ijazah Jokowi memang asli.
Bareskrim menunjukkan ke publik fotokopi daftar alumni, bundel milik Achmad Sumitro, bundel KPU DKI Jakarta, bukti setor SPP Jokowi, dan banyak lagi.
Namun mau ratusan bahkan ribuan dokumen yang ditunjukkan ke publik tidak akan pernah berarti apa-apa karena Bareskrim tidak menunjukkan ijazah Jokowi yang diklaim sebagai asli.
Bareskrim dan Polri harus paham bahwa publik tidak meragukan Jokowi pernah kuliah di UGM. Yang diragukan adalah apakah Jokowi punya ijazah yang sah melalui prosedur yang sah.
Apakah ijazah Jokowi setelah diuji forensik berasal dari tahun 1985, apakah foto yang dipakai pada ijazah adalah foto Jokowi sendiri—bukan punya Dumatno seperti dicurigai publik, apakah diperkenankan mengenakan kacamata pada foto ijazah pada tahun 1985, apakah banyak kejanggalan pada skripsi Jokowi sudah diteliti dengan seksama, dan banyak lagi pertanyaan yang masih menjadi misteri.
Pendek kata, banyaknya data yang tidak diungkapkan—atau memang sengaja disembunyikan—Bareskrim menimbulkan semakin banyak teka-teki mengenai ijazah Jokowi.
Publik curiga bahwa absennya ijazah asli Jokowi dalam konferensi pers itu dan tidak hadirnya data-data saintifik mengenai hasil uji labfor adalah strategi untuk menghindari penelitian terbuka terhadap ijazah Jokowi yang memang bermasalah.
Karena di persidangan Gus Nur dan Bambang Tri, juga di persidangan perdata di Solo yang sedang berlangsung, Jokowi sangat menghindar dari menunjukkan ijazahnya secara terbuka.
Lumpuhnya pemerintahan Prabowo dalam menangani dugaan ijazah palsu Jokowi karena ketidakmampuannya menguasai Parcok adalah serial kedua dari tragedi memalukan ini.
Seharusnya Prabowo gerak cepat melakukan pergantian besar-besaran di tubuh Polri untuk menghindari macetnya kasus-kasus yang berhubungan dengan Jokowi.
Pada reshuffle kabinet mendatang, penyegaran di tubuh Polri harus dilakukan segera di samping mengganti semua menteri titipan Jokowi.
Tanpa itu, Prabowo terkesan seperti bebek lumpuh. Semakin lama Prabowo mengulur-ulur waktu melakukan pembenahan, semakin kuatlah Jokowi, semakin intensiflah dia melakukan konsolidasi, semakin tampaklah matahari kembar itu telah menimbulkan gerhana yang membuat Indonesia semakin gelap.
Kondisi ini tidak saja buruk bagi pemerintahan Prabowo, tetapi juga bagi seluruh rakyat Indonesia yang menginginkan perubahan segera.
Memang tidak sederhana menangani dilema pelik mengenai Jokowi yang sudah berjasa mengantarkan Prabowo menjadi presiden. Tapi soalnya bukan di sana.
Prabowo harus sadar bahwa dia hanya berhutang budi ke rakyat, bukan ke Jokowi yang sudah 10 tahun menjadikan Indonesia menjadi negara gagal.
Semoga Prabowo bisa kembali memakai akal sehatnya dalam mengurus negara yang selalu ia cintai.
Kini rakyat berharap besar kepadanya untuk memperbaiki kerusakan yang telah ditimbulkan Jokowi selama 10 tahun. ***
Artikel Terkait
7 Sopir Tangki Pertamina Ditahan di Manggarai NTT Terkait Kasus BBM Ilegal, Ini Modusnya
Target Ekonomi 8%, Purbaya Yudhi Sadewa Beberkan Strategi & Kritik Kebijakan 10 Tahun Terakhir
Harga Pertamina Dex & Dexlite Naik 1 November 2025: Daftar Lengkap BBM Terbaru
KPK Selidiki Proyek Whoosh KCJB: Jokowi dan Para Menteri Bisa Dipanggil