Ijazah Palsu, Parcok, dan Konsolidasi Matahari Kembar

- Sabtu, 24 Mei 2025 | 08:30 WIB
Ijazah Palsu, Parcok, dan Konsolidasi Matahari Kembar


'Ijazah Palsu, Parcok, dan Konsolidasi Matahari Kembar'


Oleh: Buni Yani


Membayangkan konsekuensi pengumuman Bareskrim Polri mengenai keaslian ijazah UGM Jokowi seperti membayangkan semakin gelapnya Indonesia ditimpa gerhana tak berkesudahan setelah tujuh bulan lebih Presiden Prabowo memerintah. 


Pengumuman yang sangat menguntungkan Jokowi itu memang sudah diantisipasi publik karena ini hanya memperkuat saja fenomena Parcok yang selama ini telah menjadi rahasia umum.


Pengumuman itu adalah politik tingkat tinggi, perebutan pengaruh, dan unjuk kekuatan melalui simbol-simbol budaya dan unggah-ungguh Jawa. 


Pengumuman itu jauh melampaui dampak hukum bagi pihak-pihak yang sedang berperkara seperti Roy Suryo, Rismon Sianipar, dan Tifauzia Tyassuma. 


Bila harus diringkas dengan kalimat pendek, maka pengumuman itu adalah bunyi terompet pemberitahuan kekalahan Prabowo melawan Jokowi dalam menguasai kepolisian.


Betul, Prabowo tidak berkutik melawan Jokowi dalam menguasai kepolisian. 


Prabowo dibuat impoten dan tak bergigi melawan pengaruh Jokowi yang semakin kuat dan mengakar. 


Prabowo bahkan tidak bisa melakukan penetrasi kecil di tubuh kepolisian yang sudah menjadi sekutu utama Jokowi sejak lama, bahkan setelah tujuh bulan Prabowo berkuasa.


Bagi Jokowi, pengumuman Bareskrim atas keaslian ijazahnya adalah show of force bahwa dia masih digdaya dan masih memegang kendali atas kepolisian. 


Jokowi sedang melakukan konsolidasi kekuatan sebelum pertempuran yang sebenarnya dengan melakukan tes loyalitas melalui kasus ijazah palsu ini. 


Seperti diharapkan Jokowi, akhirnya Sigit Listyo sebagai Kapolri menunjukkan loyalitasnya yang tanpa reserve. 


Seperti diharapkan Jokowi, Sigit tidak mungkin melupakan jasanya yang telah menjadikannya Kapolri yang melompati sekian angkatan.


Mengapa Jokowi melakukan ini, karena Gibran sedang berada di ujung tanduk pemakzulan. 


Publik menekan Prabowo agar segera mengganti Gibran dengan Wapres yang lebih cakap dan punya kapabilitas. 


Di bawah inisiasi purnawirawan TNI, publik ikut mendesak agar Gibran diganti karena telah melakukan perbuatan tercela lewat postingan akun Fufufafa di platform Kaskus. Akun Fufufafa diduga kuat milik Gibran.


Jokowi tidak bisa membiarkan ini berlarut-larut yang membahayakan posisi Gibran, lalu menjadikan dirinya menjadi sasaran tembak melalui kasus ijazah palsu. 


Dalam hal ini, strategi Jokowi menggunakan kasus ijazah palsu sebagai senjata membalikkan keadaan mempunyai dua keuntungan. 


Keuntungan pertama, kasus ini akan mengalihkan perhatian publik dari serangan ke Gibran menjadi serangan ke dirinya. 


Keuntungan kedua, kasus ini adalah tes loyalitas kepolisian di bawah Listyo Sigit yang selama ini menjadi sekutu utamanya.


Tanda-tanda kepolisian masih berada di bawah pengaruh Jokowi bisa dibuktikan dengan banyaknya kejanggalan dalam uji forensik di Bareskrim. Kepolisian de facto belum berada di bawah kontrol Prabowo.


Pemihakan kepolisian kepada Jokowi yang telah diberi nama Parcok oleh publik sangatlah nyata dan tidak bisa ditutupi. 


Pertama, mungkin tanpa disadari oleh Djuhandhani dari Bareskrim, ia memberikan kesan kurang baik ke Egi Sujana yang tidak datang ke Bareskrim untuk memberikan keterangan. Seharusnya Djuhandhani paham bahwa Egi tidak bisa datang karena sakit. 


Namun Djuhandhani sama sekali tidak menyebut Egi Sujana sedang sakit, seolah-olah Egi mangkir tanpa alasan yang jelas.


Kedua, Djuhandhani menyebut TPUA tidak terdaftar di AHU Kemenkumham—yang kembali mau tidak mau bisa ditafsirkan bahwa Djuhandhani memang sengaja ingin memberikan kesan negatif terhadap TPUA ke publik. 


Menurut UU, tidak semua perkumpulan atau organisasi di tengah masyarakat harus berbadan hukum. Begitu juga dengan TPUA.


Dari sini saja kita sudah tahu bahwa secara tidak sadar Bareskrim tidaklah netral. Bareskrim terkesan mengambil jarak dengan TPUA, tetapi sebaliknya begitu takzim ke Jokowi. 


Halaman:

Komentar