Rahasia Empat Pulau Aceh: Tanya Rembulan, Tanya Rumput di Pulau Panjang

- Senin, 16 Juni 2025 | 13:00 WIB
Rahasia Empat Pulau Aceh: Tanya Rembulan, Tanya Rumput di Pulau Panjang


“Kita tidak minta merdeka, tidak minta referendum. Tapi kita minta simbol, identitas. Seperti di Malaysia, Serawak dan Sabah sejajar dengan Malaysia dalam hal simbol,” katanya.


Dia menyesalkan sikap pusat yang tidak mempercayai Aceh, termasuk dalam hal penggunaan bendera yang diatur sedemikian rupa agar tidak lebih tinggi dari bendera nasional.


Lebih jauh, ia memperingatkan bahwa penarikan kewenangan dan pengaburan batas wilayah Aceh dapat berujung pada keraguan generasi muda terhadap nilai perjuangan masa lalu.


“Kalau MoU tidak dihargai, maka akan muncul pertanyaan; untuk apa kita berjuang? Untuk apa bertahun-tahun konflik kalau Aceh akhirnya sama saja seperti provinsi lain?”


Munawar menegaskan, keistimewaan dan kekhususan Aceh telah dijamin tidak hanya dalam MoU Helsinki, tetapi juga dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) serta Peraturan Presiden yang menjadi turunannya. 


Ia meminta pernyataannya dengan menyerukan agar keistimewaan Aceh tetap dijaga sebagai bentuk penghormatan terhadap kesepakatan damai dan masa depan yang lebih baik bagi masyarakat Aceh.


Polemik Keputusan Menteri Dalam Negeri terhadap empat pulau ini diharapkan adanya sikap Presiden Prabowo Subianto dapat mengambil langkah tegas dan bijaksana. Sehingga kepercayaan masyarakat Aceh terhadap Indonesia masih ada.


“Jadi saya berharap Presiden Prabowo harus betul-betul bijaksana untuk segera melakukan revisi terhadap Kepmendagri, sehingga empat pulau itu bisa kembali ke Aceh,” kata Mantan Wakil Juru Bicara GAM itu.


Pengkhianatan Kedaulatan


Sementara itu, Ketua Komisi VI DPR Aceh, Nazaruddin alias Tgk Agam, menilai pengalihan Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek bukan sekadar masalah administrasi, tetapi sudah mengarah pada pengkhianatan terhadap kedaulatan Aceh yang sarat kepentingan kelompok.


Tgk Agam mengatakan dugaan pengalihan wilayah ini didasarkan pada arsip kontroversial yang diteken Gubernur Aceh, Gubernur Sumut, dan Mendagri pada 1992. 


Dokumen ini kini digunakan sebagai dasar pengalihan wilayah, meskipun bertentangan dengan fakta sejarah dan hukum.


“Kalau ini bukan pesanan kapitalis, mustahil ada pejabat berani melabrak fakta historis dan hukum. Bahkan arsip Nederland yang menegaskan keempat pulau itu milik Aceh diabaikan. Ini jelas melawan hukum secara formil dan materiil,” kata dia.


Dia mendorong Pimpinan DPRA segera membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk mengusut tuntas dugaan rekayasa pengalihan empat pulau milik Aceh ke wilayah Provinsi Sumatera Utara.


“Kalau Pansus menemukan unsur pidana, DPRA akan melapor langsung ke Presiden agar proses hukum ditegakkan. Ini bukan soal kehilangan wilayah semata, tetapi penghancuran marwah Aceh,” kata Tgk Agam.


Politikus Partai Aceh ini menyebut kasus ini dapat mengganggu stabilitas politik dan berpotensi melanggar MoU Helsinki 2005, yang menjadi fondasi perdamaian Aceh. 


Tgk Agam juga mengusulkan pembentukan Satgas Penjaga Wilayah untuk mencegah upaya serupa di masa depan.


Kegaduhan empat pulau ini juga perlu ditindak lanjuti oleh DPRA untuk mengevaluasi batas wilayah Aceh berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 1956.


“Ini soal harga diri Aceh. Siapa pun yang terlibat dalam pengkhianatan ini harus diungkap. Rakyat Aceh berhak tahu siapa pengkhianatnya!” ujar Tgk Agam.


Sementara itu, Kepala Biro Pemerintahan dan Otonomi Daerah Sekretariat Daerah Aceh, Syakir, menceritakan proses perubahan status keempat pulau tersebut telah berlangsung sebelum 2022, jauh sebelum Gubernur Muzakir Manaf dan Wakil Gubernur Fadhlullah menjabat. 


Pada 2022, beberapa kali telah difasilitasi rapat koordinasi dan survei lapangan oleh Kementerian Dalam Negeri.


“Sebenarnya pencatatan masuk ke kita karena jelas acuannya surat kesepakatan bersama 1992. Selama kesepakatan itu belum diubah maka itu akan menjadi mengikat kedua pihak,” kata Syakir.


Saat proses verifikasi dilakukan, Pemerintah Aceh bersama tim dari Kementerian Dalam Negeri telah turun langsung ke lokasi untuk melakukan peninjauan keempat pulau tersebut. 


Dalam verifikasi itu, kata dia, Pemerintah Aceh menunjukkan berbagai bukti otentik, termasuk infrastruktur fisik, dokumen kepemilikan, serta foto-foto pendukung.


Tidak hanya dengan Aceh, Syakir menegaskan verifikasi ini juga melibatkan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, Pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah, dan Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil.


Di Pulau Panjang, misalnya, Pemerintah Aceh memperlihatkan sejumlah infrastruktur yang dibangun oleh Pemerintah Aceh dan Pemkab Aceh Singkil. 


Seperti tugu selamat datang, tugu koordinat yang dibangun oleh Dinas Cipta Karya dan Bina Marga pada 2012, rumah singgah dan mushala (2012), serta dermaga yang dibangun pada 2015.


“Dokumen-dokumen pendukung juga telah kami serahkan, baik dari Pemerintah Aceh maupun dari Pemkab Aceh Singkil. Di antaranya terdapat peta kesepakatan antara Gubernur Aceh dan Gubernur Sumatera Utara yang disaksikan oleh Mendagri pada tahun 1992,” kata Syakir.


Peta tersebut menunjukkan garis batas laut yang mengindikasikan bahwa keempat pulau tersebut masuk dalam wilayah Aceh.


“Sebenarnya, dengan adanya kesepakatan kedua gubernur yang disaksikan oleh mendagri pada 1992, secara substansi sudah jelas bahwa keempat pulau tersebut adalah bagian dari Aceh,” katanya.


Bukti lainnya termasuk dokumen administrasi kepemilikan dermaga, surat kepemilikan tanah tahun 1965, serta dokumen pendukung lainnya. 


Di Pulau Mangkir Ketek, tim juga menemukan sebuah prasasti bertuliskan bahwa pulau tersebut merupakan bagian dari Aceh. 


Prasasti ini dibangun pada Agustus 2018, mendampingi tugu sebelumnya yang dibangun oleh Pemkab Aceh Singkil pada 2008.


Pada pelantikan Wali Kota Sabang Sabtu 14 Juni itu, Mualem menyeletuk meminta Zulkifli H Adam selaku pemimpin Kota Sabang yang baru untuk menjaga keberadaan Pulau Rondo agar tidak dicaplok India.


“Meuhan jaga Pulau Rondo bek dicok lek India (Kalau tidak, jaga Pulau Rondo biar tidak diambil India). Walaupun bercanda kita harus hati-hati juga,” seisi ruangan riuh tertawa.


Sumber: Suara

Halaman:

Komentar