Analisa Asing Atas Pemakzulan Gibran: Manuver, Ilusi, atau Ancaman Nyata?

- Senin, 16 Juni 2025 | 14:50 WIB
Analisa Asing Atas Pemakzulan Gibran: Manuver, Ilusi, atau Ancaman Nyata?

Sidang paripurna harus dihadiri oleh dua pertiga dari 580 anggota DPR, dan dua pertiga dari mereka harus menyetujui untuk melanjutkan perkara ke Mahkamah Konstitusi. 


Di MK, persoalan kembali menjadi kompleks, mengingat institusi itu belum sepenuhnya pulih dari krisis legitimasi akibat putusan yang meloloskan Gibran sejak awal.


Dan seandainya MK menilai bahwa ada pelanggaran hukum yang berat, keputusan akhir tetap berada di tangan MPR. 


Namun untuk bisa melakukan pemungutan suara, MPR harus dihadiri oleh tiga perempat dari seluruh anggota, dan dua pertiga dari mereka harus setuju untuk memakzulkan. 


Artinya, tidak hanya butuh suara, tapi juga momentum politik dan kekuatan moral yang jauh melampaui surat protes sekelompok jenderal.


Lantas, jika jalurnya begitu rumit dan hampir tak mungkin, mengapa surat itu dikirimkan? Inilah titik menariknya. 


Analisa asing, sebagaimana tergambar dalam laporan-laporan informal think tank dan diplomasi di belakang layar, menilai bahwa ini bukan sekadar tentang upaya memakzulkan Gibran, melainkan strategi membangun narasi jangka panjang.


Dengan mengajukan surat pemakzulan saat ini—bahkan jika tidak akan pernah sampai pada tahap akhir—para penandatangan sedang meletakkan fondasi persepsi: bahwa Gibran naik ke kekuasaan dengan cara yang cacat, dan karena itu harus dibayar dengan “moral stain” yang melekat hingga 2029. 


Saat itulah, jika Gibran mencalonkan diri sebagai presiden, lawan-lawan politiknya telah memiliki senjata naratif: “Dia bahkan pernah diajukan untuk dimakzulkan, apakah Anda mau orang seperti itu memimpin negara?”


Retorika ini bisa jauh lebih tajam dari hukum itu sendiri.


Apakah Gibran gentar? Belum ada tanda-tanda. Dia tetap tersenyum dalam setiap acara publik, bicara ringan, dan memilih diam dalam isu-isu besar. 


Tetapi jika ia memahami dinamika politik seperti ayahnya, Jokowi, maka dia pasti sadar: surat itu bukan sekadar kertas. Itu adalah sinyal. 


Bukan hanya untuknya, tetapi juga untuk partai-partai besar, istana, dan pemilih muda yang akan jadi penentu pada 2029.


Dalam politik, terutama di republik seperti Indonesia, pemakzulan tidak selalu dimaksudkan untuk menang di pengadilan. 


Kadang ia hanya perlu cukup gaduh untuk mengubah arah sejarah. Dan di titik itulah, surat para jenderal itu sedang bekerja. ***

Halaman:

Komentar