[ANALISIS] Pemerkosaan Massal 98 dan Upaya Whitewashing Lewat Proyek Sejarah

- Selasa, 17 Juni 2025 | 05:55 WIB
[ANALISIS] Pemerkosaan Massal 98 dan Upaya Whitewashing Lewat Proyek Sejarah


[ANALISIS] Pemerkosaan Massal 98 dan Upaya 'Whitewashing' Lewat Proyek Sejarah


 Penulisan ulang sejarah yang diinisiasi oleh Kementerian Kebudayaan RI terus menjadi polemik.


Sebelumnya sejumlah pihak termasuk sejarawan mengkritik outline penulisan sejarah baru hanya ada dua dari 12 pelanggaran HAM berat yang diakui Komnas HAM.


Beberapa peristiwa penting seperti kasus pelanggaran HAM '65 hingga penculikan di akhir Orde Baru disebut tak masuk dalam outline buku tersebut.


Menteri Kebudayaan Fadli Zon menjelaskan proyek penulisan ulang sejarah RI yang terdiri dari 10 jilid tersebut akan membawa narasi yang lebih positif.


Terakhir Fadli Zon kembali menuai kecaman usai pernyataannya terkait tragedi pemerkosaan massal pada kerusuhan Mei 1998, tidak terbukti.


Bahkan, kata dia, laporan tim gabungan pencari fakta (TGPF) tak memiliki data pendukung yang solid. 


Menurut Fadli, hasil laporan TGPF hanya menyebut angka, namun tanpa nama, waktu, peristiwa, tempat kejadian.


Penyangkalan peristiwa perkosaan massal dalam teror Mei 1998 oleh Fadli Zon dinilai merupakan upaya untuk mendelegitimasi ingatan kolektif bangsa.


"Ini menegaskan dan membenarkan petisi saya dan teman-teman yang tergabung di AKSI (Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia) bahwa apa yang dilakukan dalam proses penulisan sejarah ini punya kecenderungan yang namanya whitewashing," ujar sejarawan Andi Achdian saat dihubungi melalui sambungan telepon, Selasa (17/6).


Whitewashing atau pemutihan merupakan tindakan menutupi atau menghapus kejahatan guna membebaskan orang yang bersalah. 


Praktik tersebut sekaligus memperbaiki reputasi seseorang.


Andi meragukan akuntabilitas penulisan ulang sejarah. 


Dia tidak percaya dengan klaim Fadli yang mengaku tidak akan mengintervensi proyek tersebut.


Apa yang disampaikan Fadli kemarin dengan menyangkal perkosaan massal dalam peristiwa Mei 1998 membuktikan keraguannya tersebut.


"Statement yang dikeluarkan itu menegaskan sebuah posisi, saya tidak tahu apakah itu posisi pribadi atau posisi pemerintah ya," kata Andi.


"Bahwa ingatan kolektif itu yang ingin didelegitimasi oleh Menteri Kebudayaan dengan menyatakan tidak ada (perkosaan massal). Lalu kemudian mundur, bukan maksudnya tidak ada, seperti itulah. Itu sangat menegaskan bahwa saya tidak percaya dengan proyek penulisan ulang sejarah," sambungnya.


Andi mengatakan Fadli sudah mengabaikan kerja-kerja Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) bentukan Presiden BJ Habibie yang menyimpulkan telah terjadi perkosaan massal di tengah peristiwa Mei 1998.


Sikap abai itu menyebarluas ke publik, kemudian menjadi polemik, hingga pada akhirnya mengaburkan sorotan utama terhadap peristiwa.


"Ini adalah pertarungan makna yang sedang diciptakan oleh Menteri Kebudayaan ya. Jadi, bukan lagi wilayah-wilayah penulisan sejarah secara mendasar yang dia klaim sebagai akademik, bebas dari intervensi, sama sekali tidak," tutur Andi.


"Ini sebuah proses untuk bagaimana negara dilepas dari tuntutan akuntabilitas. Korban kehilangan ruang legitimasi bersuara dan sebagainya," katanya.


Andi mencium aroma untuk membebaskan negara atau pemerintah dari tuntutan akuntabilitas terhadap peristiwa pelanggaran HAM masa lalu sebagaimana yang sudah disampaikan Komnas HAM ke Kejaksaan Agung.


Kata dia, penulisan ulang sejarah menjadi alat untuk membersihkan tanggung jawab negara.


"Ini adalah alat untuk itu," imbuhnya.


Sosiolog Ariel Heryanto dalam tulisannya bertajuk Rape, Race, and Reporting, menilai penyangkalan terhadap perkosaan massal dalam peristiwa Mei 1998 merupakan upaya untuk mengaburkan sorotan utama terhadap peristiwa yang terjadi.


Pertanyaan penting mengenai siapa yang harus bertanggung jawab, bagaimana cara tepat untuk menangani kasus, atau apa yang dapat dilakukan negara untuk membantu dan memberi keadilan bagi para korban menjadi terlupakan.


Sebab, publik akan disibukkan oleh pembahasan apakah pemerkosaan benar-benar terjadi selama kerusuhan Mei 1998.


Heryanto mengatakan kekerasan seksual, terutama pemerkosaan, termasuk dalam kategori kekerasan yang sangat berbeda dengan kekerasan fisik yang bermotif politik.


Indonesia di masa kontemporer telah menyaksikan dua insiden kekerasan politik yang dipublikasikan dengan baik, menunjukkan perbedaannya dengan jelas.


Luka-luka fisik yang dialami para aktivis korban penculikan di masa Orde Baru, di mana semuanya adalah laki-laki, dianggap sebagai tanda kepahlawanan politik. 


Luka-luka itu seolah menjadi tanda keberhasilan mereka bertahan hidup dari cobaan politik dalam memperjuangkan reformasi politik, ekonomi, dan mental yang sudah lama tertunda.


"Berbeda dengan aktivis yang disiksa, korban pemerkosaan di seluruh masyarakat cenderung merendahkan diri, menderita rasa malu yang luar biasa, dan kehilangan harga diri, terlepas dari apakah orang lain meremehkan mereka atau tidak," tulis Heryanto.


"Oleh karena itu, kasus-kasus individual pemerkosaan dan pemerkosa hanyalah bagian dari masalah. Menyalahkan atau menuntut pemerkosa saja tidak banyak membantu meringankan penderitaan korban pemerkosaan, atau mencegah kemungkinan terjadinya pemerkosaan," sambungnya.


Hapus jejak pelanggaran HAM


Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas yang terdiri dari 547 pihak baik organisasi maupun individu memandang pernyataan Fadli mencerminkan upaya sistematis untuk menghapus jejak pelanggaran HAM di masa Orde Baru, dengan cara meniadakan narasi tentang peristiwa kekerasan seksual Mei 1998 dan pelanggaran berat HAM lainnya dari buku-buku sejarah yang sedang direvisi.


"Ia (Fadli) telah gagal dalam memahami kekhususan dari kekerasan seksual dibandingkan dengan bentuk-bentuk kekerasan lainnya, terlebih lagi ada kecenderungan untuk secara sengaja menyasar pihak yang dijadikan korban, yaitu perempuan Tionghoa," tulis koalisi dikutip dari laman KontraS.


Menurut koalisi, Fadli yang memimpin proyek penulisan ulang sejarah tampak ingin menyingkirkan narasi penting tentang pelanggaran HAM berat dari ruang publik.


"Pernyataan tersebut merupakan bentuk manipulasi, pengaburan sejarah, serta pelecehan terhadap upaya pengungkapan kebenaran atas tragedi kemanusiaan yang terjadi khususnya kekerasan terhadap perempuan dalam peristiwa Mei 1998," katanya.


Alarm Publik


Alih-alih menulis ulang sejarah, menurut sejarawan Andi Achdian, ada baiknya pemerintah fokus untuk melaksanakan rekomendasi dari TGPF dan Komnas HAM.


"Saya kira lebih baik, seperti yang Anda bilang itu betul, bagus sekali bahwa fokus ke situ saja dulu. Selesaikan dulu," ucap dia.


Di samping itu, Andi mengingatkan publik untuk tetap selalu bersikap kritis.


Sebab, dia mengingatkan adagium power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely yang berarti kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan yang absolut pasti korup.


"Bahwa dalam membangun pengetahuan, negara tidak selamanya menjadi monopoli tafsir atas masa lalu, kita harus belajar tetap kritikal terhadap posisi-posisi itu, di mana pun dalam kehidupan masyarakat demokratis, kita harus punya hermeneutika kecurigaan," ungkap Andi.


Sementara itu, Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas mendesak pembatalan pengangkatan Fadli sebagai Ketua Dewan Gelar.


Sebab, jabatan tersebut berpotensi digunakan untuk merevisi sejarah secara sepihak dan menyesatkan.


Koalisi juga menuntut agar proyek penulisan ulang sejarah yang diinisiasi Kementerian Kebudayaan untuk dihentikan segera.


"Kami mendesak negara untuk menjamin pemulihan, pengakuan, pengungkapan kebenaran dan keadilan bagi para korban dan keluarga korban, serta menjadikan sejarah kekerasan Mei 1998 maupun pelanggaran HAM berat lainnya sebagai bagian dari ingatan kolektif bangsa," katanya.


Sumber: CNN

Komentar