Pada 1 Agustus 2024, kelompok masyarakat sipil Front Pemuda Anti Korupsi (FPAK) melaporkan kasus ini ke KPK. Sayangnya, laporan mereka sempat dianggap belum cukup bukti.
Baru hampir setahun kemudian, 19 Juni 2025, KPK memastikan kasus ini masuk ke tahap penyelidikan.
Beberapa pihak mulai dipanggil, meski belum ada keterangan resmi siapa saja yang diperiksa.
Dalam sistem hukum normal, keterlambatan bisa dipahami. Namun dalam sistem birokrasi Indonesia yang dikelilingi oleh kepentingan politik dan balas jasa kekuasaan, keterlambatan bisa berarti pengaburan.
Terutama ketika nama Yaqut, tokoh penting dalam ormas besar dan bagian dari lingkar kekuasaan lama, jadi tokoh sentral perkara.
Maka benarlah kata Wakil Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid: sekalipun Pansus DPR bukan lembaga hukum, laporan dan sorotannya merupakan dokumen publik yang bisa dipakai KPK sebagai rujukan.
Celakanya, yang menjadi soal bukan data—melainkan kemauan politik untuk menyentuh yang tak tersentuh.
BP Haji dan Harapan yang Gentar
Tahun depan, penyelenggaraan haji akan ditangani Badan Penyelenggara Ibadah Haji (BP Haji), lembaga baru hasil reformasi dari kisruh lama.
Kepala BP Haji, Gus Irfan Yusuf, membawa pesan tegas dari Presiden Prabowo Subianto: transparansi dan akuntabilitas.
Ia bahkan merekrut delapan mantan penyidik dari KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian ke dalam eselon 2 lembaganya.
Langkah ini layak diapresiasi. Namun pengalaman mengajarkan: institusi baik bisa rusak oleh niat busuk.
Karena itu, transparansi bukan hanya soal orang-orang baik di dalamnya, tapi juga mekanisme kerja yang memungkinkan publik ikut mengawasi.
Ibadah Tanpa Antrean, Etika Tanpa Tuhan
Korupsi dalam urusan haji bukan sekadar pelanggaran hukum. Ini adalah pembusukan moral.
Ketika antrean puluhan tahun dilompati, dan jatah orang miskin dikomersialkan untuk keuntungan segelintir elit, maka yang dilanggar bukan cuma regulasi, melainkan nurani kolektif bangsa.
Kita tak sedang membicarakan bangunan jalan tol atau proyek Ibu Kota baru. Ini tentang ibadah. Tentang rukun Islam yang kelima.
Tentang ribuan orang tua yang menjual sawah dan menabung belasan tahun demi satu kesempatan mencium Hajar Aswad.
Kalau pun kelak Yaqut terbukti bersalah, biarlah hukum bekerja. Tapi jika ia bebas karena sistem yang bobrok, sejarah akan tetap menuliskan namanya.
Sebab memanipulasi ibadah demi keuntungan adalah bentuk pengkhianatan yang bahkan tak bisa diampuni oleh generasi mendatang. ***
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
Bobibos Biofuel RON 98 dari Jonggol: Solusi BBM Murah Rp 4 Ribu Setara Pertamax Turbo
ESDM Ingatkan Aturan BBM ke Bobibos: Ekspansi SPBU Harus Penuhi Uji Kelayakan
Rahmah El Yunusiyyah: Pendiri Pesantren Putri Pertama di Asia Tenggara, Kini Pahlawan Nasional
Cara Menulis Artikel SEO yang Optimal: Panduan Lengkap untuk Pemula