Warga Jakarta Telantarkan Jenazah Pejabat Pajak di Pinggir Jalan, Tolak Gotong ke Makam, Ternyata Ini Alasannya!

- Kamis, 11 September 2025 | 07:30 WIB
Warga Jakarta Telantarkan Jenazah Pejabat Pajak di Pinggir Jalan, Tolak Gotong ke Makam, Ternyata Ini Alasannya!

PARADAPOS.COM - Pemerintah atau pejabat publik tidak pro-rakyat, cepat atau lambat, tentu akan menuai perlawanan masyarakat dengan cara apa pun, termasuk membiarkan jenazahnya di pinggir jalan tanpa ada yang mau membantu pemakamannya.


Sejarah telah berulang kali membuktikan adagium ini, dan salah satu contoh paling ekstrem datang dari Batavia (kini Jakarta) abad ke-18.


Pada abad tersebut, terdapat pejabat Tionghoa bernama Qiu Zuguan, dikenal juga sebagai Khoe Tsouwko.


Ia adalah potret sempurna bagaimana kekuasaan yang disalahgunakan untuk menindas rakyat akan berbuah kebencian abadi, bahkan ketika jasadnya sudah tak bernyawa.


Karier Qiu Zuguan menanjak ketika Gubernur Jenderal VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), Joan van Hoorn, menunjuknya untuk mengisi jabatan di College van Boedelmeesters voor de Chinese sterfhuizen atau Boedelkamer pada tahun 1705.


Lembaga ini, menurut sejarawan Leonard Blussé dan Nie Dening dalam The Chinese Annals of Batavia (terbitan ulang: Leiden: Brill, 2018), memiliki peran krusial dalam mengatur harta peninggalan orang-orang Tionghoa di Batavia.


Para kuratornya berwenang melikuidasi perkebunan, mengurus warisan, hingga merawat anak-anak yatim piatu.


Ironisnya, lembaga ini pernah dibubarkan atas keluhan warga Tionghoa.


Namun, kekacauan yang timbul setelahnya membuat mereka meminta lembaga ini dibentuk kembali pada 1655.


Di tangan Qiu Zuguan, lembaga yang seharusnya berfungsi membantu justru menjadi mesin pemeras yang efisien.


Selama menjabat sebagai Boedelmeesters, Qiu Zuguan, mantan kapitan Tionghoa di Banda, mengeluarkan serangkaian peraturan yang membuat napas rakyat sesak.


Salah satu yang paling terkenal adalah kewajiban bagi semua orang, baik Tionghoa, Belanda, maupun kalangan lain, untuk membeli sertifikat penguburan dari sekretaris weeskamer setiap kali seorang budak mereka meninggal dunia.


Bagi yang berani menutupi kabar kematian dan tidak melapor, denda sebesar 25 real menanti.


Tak berhenti di situ, Qiu Zuguan juga memberlakukan pajak tambahan untuk upacara pernikahan.


Kebijakan ini menuai kecaman luas karena menambah beban yang sudah ada.


Sebagaimana dicatat oleh arsiparis Mona Lohanda dalam The Kapitan Cina of Batavia, 1837–1942 (Jakarta : Djambatan, 1996),  komunitas Tionghoa di Batavia sejak awal berdirinya kota pada 1619 telah menjadi sasaran utama wajib pajak.


“Setiap orang Tionghoa yang sehat dan berusia antara 14 hingga 60 tahun harus membayar 1,5 real per bulan. Sebuah tanda pembayaran atau hoofdbriefje diberikan ketika orang Tionghoa telah membayar pajak,” tulis Mona.

Halaman:

Komentar