Kisah Orang Kaya RI Kabur ke Singapura Karena Kesal Dengan Pemerintah!

- Minggu, 14 September 2025 | 08:50 WIB
Kisah Orang Kaya RI Kabur ke Singapura Karena Kesal Dengan Pemerintah!

PARADAPOS.COM - Beberapa waktu lalu tengah heboh perbincangan terkait tagar #KaburAjaDulu. 


Hal ini seolah mencerminkan rasa frustasi generasi muda di Indonesia yang tertekan akibat kondisi pekerjaan, pendidikan, dan kehidupan sehari-hari di dalam negeri.


Tagar tersebut juga mengartikan keinginan untuk melarikan diri dari situasi yang dirasa tidak menguntungkan sehingga meningkatkan minat generasi muda untuk mencari kehidupan yang lebih baik di luar negeri.


Fenomena ini ternyata juga pernah terjadi sebelumnya di Indonesia. 


Sudah banyak orang kabur dari Indonesia dan tinggal di luar negeri, salah satunya pernah dilakukan pengusaha asal Semarang dan orang terkaya Indonesia pada masa kolonial, yakni Oei Tiong Ham.


Meski terpaut jarak ratusan tahun dari sekarang, konteks perginya Oei Tiong Ham dari Indonesia sesuai dengan situasi masa kini yang disebabkan masalah dalam negeri tak kunjung reda.


Pajak Tinggi


Oei Tiong Ham merupakan pemilik perusahaan gula terbesar di dunia yang berdiri pada 1893, yakni Oei Tiong Ham Concern (OTHC). 


Lewat bisnis itu, Oei menguasai 60% pasar gula di Hindia Belanda


Lalu perusahaannya pun sukses mengekspor gula sebanyak 200 ribu ton hingga mendominasi pasar global dalam kurun 1911-1912.


OTHC pun punya banyak cabang yang semuanya berpusat di Semarang. 


Ada cabang OTHC di India, Singapura, Jepang dan London. 


Lini bisnisnya pun tak hanya gula, tetapi perbankan, pelayaran, dan pergudangan.


Sejarawan Onghokham dalam Konglomerat Oei Tiong Ham (1992) menyebut, semua itu membuat Oei memiliki kekayaan 200 juta gulden


Sebagai catatan, uang 1 gulden pada 1925 bisa membeli 20 kg beras. 


Jika harga beras Rp 10.850/kg, diperkirakan harta kekayaannya senilai Rp 43,4 triliun pada masa sekarang.


Pada sisi lain, pemerintah kolonial melihat besarnya kekayaan Oei dan kesuksesan OTHC sebagai objek pajak yang tak boleh lepas dari sasaran. 


Kebetulan, sejak awal 1920, pemerintah menerapkan pajak perang atau Oorlogwinstbelasting kepada perusahaan yang mendulang untung dari Perang Dunia I (1914-1918).


Dalam praktiknya, pemerintah menerapkan pajak progresif atau berganda kepada objek pajak. 


Hal ini dilakukan demi mendongkrak kembali anggaran yang menyusut akibat pertempuran.


Oei dan OTHC, yang bisnis gulanya naik saat PD I, jelas menjadi sasaran. 


Sebagaimana dituliskan Liem Tjwan Ling dalam Oei Tiong Ham: Raja Gula dari Semarang (1979), pemerintah kolonial tercatat pernah menagih Oei pajak sebesar 35 juta gulden untuk menutupi kerugian pasca-perang.


Halaman:

Komentar