Belum lama ini, Arab Saudi mengumumkan sebuah proyek infrastruktur raksasa: pembangunan jalur kereta cepat yang akan menghubungkan Kota Jeddah dengan Riyadh. Rencananya, jalur sepanjang 1.500 kilometer ini membutuhkan dana sekitar 25 miliar dolar AS atau setara dengan Rp112 triliun. Yang menakjubkan, setelah beroperasi, perjalanan antar dua kota metropolitan tersebut dapat ditempuh hanya dalam waktu sekitar empat jam.
Pengumuman ini memantik perbandingan yang tidak terelakkan dengan proyek kereta cepat dalam negeri, Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB). Sebuah pertanyaan kritis muncul: Bagaimana mungkin Arab Saudi membangun jalur sepanjang 1.500 km dengan anggaran yang hampir sama dengan proyek KCJB yang hanya 142 km?
Perbandingan Biaya yang Mengagetkan
Jika dirinci secara matematis, perbedaan biaya ini terlihat sangat mencolok:
" Kereta Cepat Jeddah-Riyadh: Biaya per kilometer sekitar Rp75 miliar.
" Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB): Biaya per kilometer mencapai Rp991 miliar.
Dari angka ini, terlihat bahwa biaya pembangunan KCJB per kilometer-nya 13 kali lebih mahal dibandingkan dengan proyek serupa di Arab Saudi. Selisih yang sangat signifikan ini tentu mengundang tanda tanya besar mengenai efisiensi pengelolaan proyek infrastruktur di Tanah Air.
Masalah Fundamental: Tata Kelola vs. Gengsi
Perbedaan ekstrem ini tidak semata-mata disebabkan oleh faktor teknis atau geografis. Akar masalahnya justru terletak pada perbedaan pendekatan dan tata kelola.
1. Perencanaan yang Matang vs. Keputusan Politik
Proyek kereta cepat Arab Saudi dikelola oleh Saudi Railway Company (SAR) dengan reputasi efisiensi dan pengawasan ketat. Setiap tahapannya direncanakan secara matang. Sebaliknya, KCJB sejak awal diwarnai keputusan politik. Pemerintah Indonesia memilih proposal dari China yang dianggap lebih cepat, meskipun menolak pinjaman Jepang yang menawarkan studi kelayakan komprehensif terlebih dahulu.
2. Efisiensi Anggaran vs. Pembengkakan Biaya
Proyek Jeddah-Riyadh berjalan dengan perhitungan anggaran yang jelas. Sementara KCJB mengalami pembengkakan biaya dari awal Rp86 triliun menjadi Rp113 triliun. Tambahan dana Rp27 triliun ini akhirnya harus ditutup dengan Penyertaan Modal Negara (PMN)—alias uang rakyat.
3. Tujuan yang Jelas vs. Pencitraan
Arab Saudi membangun kereta cepat dengan tujuan strategis untuk meningkatkan konektivitas ekonomi dan mobilitas jemaah umrah serta haji antara dua kota penting. Di sisi lain, KCJB kerap dikampanyekan sebagai simbol gengsi dan loncatan era modern, meskipun menghubungkan dua kota yang sudah terhubung oleh jalan tol dan kereta api biasa dengan waktu tempuh yang sudah relatif singkat.
Apa yang Bisa Indonesia Pelajari?
Kisah perbandingan ini memberikan pelajaran berharga bahwa kemajuan sebuah bangsa tidak diukur dari megahnya proyek infrastruktur, tetapi dari sejauh mana efisiensi dan akuntabilitas dalam pengelolaannya.
Modernisasi yang sesungguhnya lahir dari perencanaan matang, integritas tinggi, dan fokus pada hasil nyata untuk kepentingan publik, bukan sekadar pembangunan etalase yang mahal. Arab Saudi menunjukkan bahwa dengan tata kelola yang baik, proyek besar bisa dilakukan dengan biaya yang lebih rasional.
Sudah seharusnya Indonesia introspeksi dan belajar, bukan pada teknologinya, tetapi pada "mindset" dan sistem pengelolaan proyek yang lebih transparan dan bertanggung jawab.
Sumber artikel asli: fusilat
Terkini
Kamis, 23 Oktober 2025 | 17:00 WIB
Kamis, 23 Oktober 2025 | 16:50 WIB
Kamis, 23 Oktober 2025 | 16:25 WIB
Kamis, 23 Oktober 2025 | 15:50 WIB
Kamis, 23 Oktober 2025 | 15:00 WIB
Kamis, 23 Oktober 2025 | 15:00 WIB
Artikel Terkait
Baut di Sayap Lion Air Kendur Saat Terbang, Aksi Penumpang Ini Bikin Deg-degan!
Shella Saukia Beri Uang Segepok ke Melda Safitri Usai Dicerai, Dukung Dirikan Usaha
Hebat! Proyek Kereta Cepat Saudi Rp112 T, Jaraknya 13 Kali Lipat Whoosh
Oknum Polisi Polda Sumut Terancam Hukuman Mati Gara-gara Jual Sabu 1 Kg