Kontras dengan Kepemimpinan Soeharto
Soeharto memerintah selama 32 tahun dengan pendekatan tangan besi. Di bawah bendera stabilitas dan pembangunan, rezimnya menundukkan oposisi, membatasi kebebasan pers, dan membangun oligarki kekuasaan. Rezim ini menyingkirkan lawan politik, termasuk tokoh-tokoh seperti Jenderal Nasution, Hoegeng Iman Santoso, dan tentu saja Ali Sadikin.
Pertanyaan Moral tentang Gelar Pahlawan
Menyandingkan Ali Sadikin dan Soeharto dalam satu daftar pahlawan menimbulkan pertanyaan moral mendasar. Bagaimana mungkin korban represi disetarakan dengan pelaku kekuasaan yang merepresinya? Apakah negara hendak memutihkan luka masa lalu demi kompromi politik?
Ali Sadikin berjuang dengan keberanian melawan otoritarianisme, sementara Soeharto membangun sistem yang menundukkan mereka yang berani berbeda. Menempatkan keduanya dalam ruang penghormatan yang sama bisa dianggap sebagai pengkhianatan terhadap memori sejarah.
Warisan Moral vs Beban Sejarah
Ali Sadikin mungkin bukan tanpa cela - kebijakan perjudiannya menuai kritik - tetapi keberaniannya melawan kekuasaan adalah warisan moral yang berharga. Sebaliknya, Soeharto merupakan bagian dari bab gelap sejarah yang harus dihadapi dengan jujur.
Negara perlu berhati-hati: setiap gelar yang diberikan tanpa kesadaran sejarah akan menjadi beban moral bagi generasi mendatang. Sejarah tidak boleh direvisi untuk kenyamanan penguasa.
Ditulis oleh: Agung Nugroho (Direktur Jakarta Institute)
Sumber artikel asli: https://www.paradapos.com/2024/10/ali-sadikin-dan-soeharto-ironi-sejarah.html
Artikel Terkait
36 Pendaki Ilegal Dihukum Berat: Ini Konsekuensi yang Mereka Terima!
Whoosh vs Saudi Land Bridge: Investasi Kereta Cepat Indonesia Kok Lebih Mahal dari Arab?
Sopir Ambulans Ciamis Tewas Usai Antar Jenazah, Diduga Akibat Kelelahan dan Maag Akut
Prabowo Dipanggil Jokowi, Pemerintah Malaysia Langsung Minta Maaf: Geger di KTT ASEAN!