Bahkan, menurutnya, Prabowo berpotensi terjebak dalam tekanan politik dari lingkaran Jokowi.
Dalam situasi ini, Prabowo tidak sepenuhnya bebas mengambil keputusan sebagai pemimpin yang mandiri.
Muslim Arbi mengingatkan masyarakat sipil dan elemen pro-demokrasi untuk tidak terlena dengan euforia pergantian pemerintahan.
Ia menilai masa depan demokrasi Indonesia sedang menghadapi ujian besar dengan menguatnya politik dinasti dan manipulasi hukum.
“Kita tidak bisa berpangku tangan. Ini bukan sekadar persoalan elite politik, tapi soal masa depan republik. Kalau praktik manipulatif ini terus berulang, maka kepercayaan rakyat terhadap sistem demokrasi akan runtuh,” tegasnya.
Ia pun menyerukan agar masyarakat terus mengawasi pemerintahan Prabowo-Gibran dengan kritis, terutama dalam hal independensi lembaga negara, kebebasan pers, serta hak-hak sipil.
Pernyataan Muslim Arbi menjadi refleksi penting di tengah peralihan kekuasaan nasional.
Apakah demokrasi di Indonesia benar-benar berjalan sesuai rel konstitusi, atau justru telah disimpangkan demi kepentingan sekelompok elite yang ingin tetap berkuasa meski sudah turun dari tampuk resmi?
Pertanyaan ini tidak hanya penting dijawab oleh para pakar dan aktivis, tapi juga oleh seluruh rakyat Indonesia yang berharap negeri ini dipimpin oleh pemimpin yang jujur, adil, dan beretika.
“Yang kita lihat hari ini bukan sekadar transisi pemerintahan, tapi transisi antara demokrasi menuju oligarki berbaju konstitusi,” tutup Muslim Arbi.
Sumber: JakartaSatu
Artikel Terkait
Menkeu Sri Mulyani Tegas: Tanggung Jawab Saya Hanya kepada Presiden, Bukan yang Lain!
Eks KSAU Dukung Penolakan Menkeu Bayar Utang Kereta Cepat, Warisan Proyek Jokowi yang Bikin Geger
Prabowo Beberkan Skala MBR: Cukup Beri Makan Penduduk 7 Kali Singapura
Prabowo Presiden, Tanpa Wapres: Langkah Berani atau Risiko Fatal?