Menurut JK yang saat itu menjadi wakil Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, era 2004-2009 dan Joko Widodo atau Jokowi periode 2014-2019, saat menjabat sebagai Dirut Pertamina, Karen hanya menjalankan tugas dari presiden untuk memenuhi pasokan cadangan energi di atas 30 persen.
“Saya juga bingung kenapa dia terdakwa, karena dia menjalankan tugasnya. Instruksi dari presiden ke Pertamina. Instruksinya harus dipenuhi di atas 30 persen. Saya ikut membahas hal ini kebetulan saya di pemerintah waktu itu,” kata JK.
Sesuai Instruksi
Menurut JK, pengadaan LNG yang dilakukan Karen berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010, yang ditujukan kepada PT Pertamina.
Dalam aturan itu, JK menyebut ada instruksi untuk Pertamina agar mencapai sasaran kebijakan energi nasional.
Antara lain mewujudkan energi (primer) mix yang optimal pada 2025, dengan peranan gas bumi menjadi lebih 30 persen terhadap konsumsi energi nasional.
JK menjelaskan, instruksi tersebut juga seiring dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional.
“Saya ikut membahas hal ini karena kebetulan saya masih di pemerintahan saat itu,” jelasnya.
Bandingkan Dengan Seluruh BUMN Karya yang Merugi
JK berujar bahwa perusahaan seperti halnya Pertamina wajar bila rugi saat menjalankan bisnis, termasuk LNG.
Potensi tersebut karena banyak faktor salah satunya saat pandemi covid-19 pada 2020 silam.
Menurut JK, bila semua perusahaan rugi harus dihukum, kata dia, maka seluruh BUMN Karya juga harus dihukum.
“Kalau semua perusahaan rugi harus dihukum, maka seluruh BUMN Karya harus dihukum, ini bahayanya. Kalau Dirut Pertamina dihukum, kita bertindak terlalu menganiaya. Ini bahaya, orang tidak mau bekerja di perusahaan negara, tidak ada lagi orang berani berinovasi,” jelasnya.
'Jokowi dan Korupsi'
Nama Joko Widodo alias Jokowi melambung di media massa. Muasalnya, nama Jokowi, Presiden ketujuh Republik Indonesia, masuk dalam daftar nominasi tokoh terkorup 2024 versi Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP).
Organisasi ini diketahui dibentuk untuk membantu masyarakat di kawasan Eropa Timur dan Eurasia guna memahami bagaimana kejahatan-kejahatan terorganisir dan korupsi terjadi.
Gorengan OCCRP menyedot perhatian publik tak hanya dalam negeri, tetapi juga luar negeri.
Respons dan pertanyaan berkelebat. Benarkah tudingan kepada Jokowi, bekas Wali Kota Solo, tepat atau salah alamat?
Pertanyaan itu tentu beralasan mengingat tudingan korupsi terhadap Jokowi datang jauh-jauh dari daratan Eropa dan bukan dari rakyat atau pegiat antikorupsi dalam negeri.
Sedang di sisi lain, Jokowi adalah kepala negara yang dianggap sukses mengemban mandat rakyat selama dua periode, terlepas dari plus minusnya.
Tudingan lembaga itu bukan sekadar menyasar Jokowi. Empat tokoh lain juga masuk dalam list tudingan korupsi OCCRP.
Mereka adalah Presiden Kenya William Ruto, Presiden Nigeria Bola Ahmed Tinubu, mantan Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina, dan pengusaha kaya raya dari India Gautam Adani.
Publik tentu sepakat, korupsi di mana pun di muka bumi adalah musuh rakyat. Publik juga paham bahwa membiarkan korupsi merajalela bak virus dalam tubuh negara adalah bentuk pengingkaran pemimpin terhadap mandat formal rakyat.
Korupsi (versi Kamus Besar Bahasa Indonesia/KBBI) merujuk makna leksikal sebagai penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan, organisasi, yayasan, dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.
Begitu pula World Bank (2000) memberikan batasan korupsi sebagai penyalahgunaan kekuasaan publik untuk keuntungan pribadi.
Namun, bagaimana nama Jokowi masuk dalam list tokoh terkorup 2024 versi OCCRP menjadi pertanyaan lain yang segera ditemukan jawabannya terutama di Indonesia.
Mengapa pula korupsi yang terjadi di Indonesia menjadi atensi lembaga-lembaga pemantau korupsi dunia seperti OCCRP?
Macam mana Jokowi sebagai pemimpin dengan rekam jejak (track record) terukur menjadi sasaran black campaign di antara segelintir elite negeri oleh lembaga pegiat antikorupsi sekelas OCCRP?
Sebegitu bengiskah lembaga itu atas diri Jokowi lalu menempatkannya sebagai salah satu mantan pemimpin terkorup di dunia pada 2024? Ini pertanyaan penting lainnya.
Musuh Bersama
Korupsi adalah musuh bersama rakyat. Praktik korupsi nyaris menyertai perjalanan pemerintahan setiap terjadi rotasi kepemimpinan nasional hingga daerah di Indonesia.
Para pelaku korupsi kadang apes di tangan aparat penegak hukum.
Ada pula kasus yang tetap jadi misteri menyusul main mata satu sama lain dengan rezim yang berkuasa melalui oknum elite yang searah kiblat politik.
Sejarah pemerintahan bangsa Indonesia mencatat, banyak oknum elite politik partai penguasa lepas dari jerat hukum dengan memanfaatkan kuasa formal.
Di sisi lain, ada (terutama yang berada di luar kekuasaan formal) yang apes lalu masuk jeruji besi.
Para pemimpin Indonesia sejak Presiden Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, Joko Widodo hingga Prabowo Subianto memiliki komitmen kuat dalam memberantas korupsi.
Langkah ini sebagai bentuk tanggung jawab moral politik dalam upaya menyejahterakan rakyat mulai dari kota hingga pelosok kampung atau desa.
Rakyat terutama para pegiat antikorupsi juga memiliki perhatian mengawasi sepak terjang kekuasaan setiap berganti rezim.
Keterlibatan rakyat dan para stakeholders ini juga menjadi bagian dari tanggung jawab meminimalisir praktik korupsi dalam kekuasaan modern yang di-back up lembaga-lembaga antikorupsi, aparat penegak hukum hingga elemen-elemen rakyat lainnya.
Bahkan lembaga-lembaga pegiat antikorupsi global semisal OCCRP yang belakangan heboh di tengah publik tanah air yang menyeret nama Jokowi dalam daftar nominasi tokoh terkorup tahun 2024. Mengapa begitu?
Bonum Commune Communitatis
Masuknya nama Jokowi dalam daftar nominasi tokoh terkorup versi OCCRP dapat dibaca dari beberapa sudut pandang.
Pertama, potensi praktik korupsi masih menyertai perjalanan kekuasaan pasca kepemimpinan Jokowi.
Era Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka menjadi harapan dan kerinduan kolektif rakyat Indonesia agar mandat kekuasaan formal sejatinya diarahkan pada kebaikan dan kepentingan bersama komunitas atau dalam istilah Latin, bonum commune communitatis.
Kedua, kekuasaan politik formal para pemimpin selalu diingatkan bahwa rakyat adalah muara pengabdian sehingga praktik korupsi yang membawa rakyat dalam kubangan kemiskinan adalah pekerjaan maha berat.
Mental koruptif oknum elite yang berada dalam pusaran kekuasaan formal mesti dibasmi bahkan dijauhkan demi meraih kesejahteraan, yang menjadi cita-cita pemimpin melalui sumpah dan janji di hadapan pemimpin agama.
Ketiga, praktik korupsi tidak hanya melibatkan elite politik yang bersekongkol dengan para oknum mafia tetapi melibatkan pula elite kekuasaan formal yang kerap berlindung di balik jargon wong cilik.
Wong cilik selalu jadi bemper elite dalam menjalankan praktik korupsi demi menggelembungkan pundi-pundi partai dan segelintir elite.
Praktik korupsi ini tak lebih seperti yang lain meneguk alkohol dalam jumlah besar tapi mabuknya dititip ke orang lain.
Keempat, era kepemimpinan Jokowi dua periode baik berpasangan dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla maupun Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin, Jokowi juga memiliki komitmen kuat memberantas korupsi.
Jokowi menegaskan komitmen pemerintah ihwal korupsi tidak pernah surut. Upaya pencegahan gencar dengan menata sistem pemerintahan dan pelayanan publik yang transparan dan akuntabel.
Salah satu contoh nyata, rezim Jokowi mengembangkan sistem pemerintahan berbasis elektronik. Kemudian perizinan Online Single Submission (OSS) dan pengadaan barang dan jasa melalui mekanisme katalog elektronik (e-catalog).
Itu adalah sebagian kecil kerja-kerja Jokowi selama memimpin negeri ini dalam upaya mencegah meluasnya praktik korupsi.
Oleh karena itu, penempatan nama Jokowi dalam list nominasi tokoh terkorup 2024 versi OCCRP dapat dipandang sebagai sesuatu yang utopis dan prematur. Sematan itu juga debatable.
Kelima, sebagai negara dengan kandungan sumber daya alam (SDA) melimpah dan dengan kepemimpinan yang kuat Indonesia akan senantiasa menjadi sentra perhatian global.
Di tengah persaingan global yang kian ketat, para pemimpin Indonesia juga akan menghadapi tekanan dahsyat terutama dalam rencana kerja sama bilateral maupun multilateral yang mutualistik.
Keenam, kepemimpinan elite formal yang kuat abai korupsi ditopang dukungan penuh rakyat akan selalu jadi batu sandungan bagi dunia.
Caranya, bisa melalui black campaigns sekadar menggerus kepercayaan publik yang kian kental. Rilis OCCRP tentang Jokowi dan korupsi mesti dibaca dengan teliti mengingat agenda pemberantasan korupsi dalam negeri menjadi concern para presiden Indonesia selama ini sejak masa Habibie.
Agenda pemberantasan korupsi juga akan dilanjutkan Presiden Prabowo demi meraih kebaikan bersama.
Jangan sampai agenda ini dijegal di era kepemimpinan saat ini. Bisa saja nama Jokowi sekadar dihadirkan sebagai ‘tumbal kekuasaan’, namun justru membidik rezim Prabowo-Gibran yang punya komitmen kuat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi. ***
Artikel Terkait
KPK Didesak Tetapkan Tersangka Kasus Korupsi Proyek Kereta Cepat Whoosh, Diduga Rugikan Negara
Skema Jatah Preman Riau: Gubernur Jadi Pengusaha Proyek untuk Balik Modal Politik
OTT KPK di Ponorogo: Bupati Sugiri Sancoko, Sekda, Dirut RSUD, dan Adik Kandung Diamankan
Bupati Ponorogo Ditangkap KPK: Kronologi Lengkap OTT hingga Penggeledahan