Ketika Laut Diprivatisasi: Refleksi Kasus Pagar Laut PIK-2 dan Kritik Cak Nun

- Rabu, 12 Februari 2025 | 14:25 WIB
Ketika Laut Diprivatisasi: Refleksi Kasus Pagar Laut PIK-2 dan Kritik Cak Nun


Ketika Laut Diprivatisasi: 'Refleksi Kasus Pagar Laut PIK-2 dan Kritik Cak Nun'


Oleh: Wahyudi Nasution

Pegiat Pemberdayaan Masyarakat dan Seni-Budaya


Dalam sejarah dan mitologi, laut selalu dipandang sebagai simbol kebebasan, keberlimpahan, dan milik bersama. 


Namun, apa yang terjadi di Pantai Indah Kapuk (PIK2) menunjukkan sisi kelam modernitas: laut tidak lagi menjadi milik publik, melainkan menjadi objek privatisasi, dikapling, bahkan dijual dengan harga fantastis.


Fenomena ini mencerminkan realitas baru yang menggambarkan kolaborasi kekuasaan, modal, dan birokrasi—sebuah pengingat tajam terhadap kritik-kritik sosial yang pernah disampaikan oleh Cak Nun.


Kolaborasi Firaun, Haman, dan Qarun Dalam Wujud Baru

Cak Nun, dalam ceramah-ceramahnya, sering menggunakan analogi Firaun, Haman, dan Qarun untuk menggambarkan relasi destruktif antara penguasa, teknokrat, dan kapitalis.


Dalam pandangan beliau, “Firaun” adalah simbol tirani kekuasaan; “Haman” adalah representasi dari kepatuhan teknokrat dan intelektual kepada kekuasaan yang salah; sementara “Qarun” adalah metafora untuk pengusaha yang terus menumpuk kekayaan dengan segala cara.


Kasus pagar laut PIK2 menunjukkan bahwa kolaborasi semacam itu tidak lagi sebatas teori. 


Reklamasi besar-besaran yang dilakukan, penutupan akses masyarakat ke laut, dan masifnya iklan penjualan properti kepada investor asing mencerminkan bagaimana kepentingan modal besar dan kekuasaan dapat mengabaikan hak-hak publik.


Bahkan, praktik ini melampaui apa yang dilakukan Firaun yang asli dalam sejarah: Laut Merah tidak dipagari, diurug, atau dijual.


Privatisasi Laut: Ironi Modernitas

Laut adalah sumber daya bersama yang tidak boleh dimiliki secara eksklusif. Namun, pagar laut sepanjang 30,16 km di PIK2 mengubah laut menjadi ruang privat yang hanya bisa diakses oleh mereka yang mampu membeli.


Reklamasi ini, selain menimbulkan dampak lingkungan yang besar, juga mencerminkan pola pikir bahwa setiap jengkal ruang, bahkan laut sekalipun, dapat menjadi komoditas.


Privatisasi laut ini bukan hanya masalah ekologis, tetapi juga sosial dan moral. Bagaimana mungkin sesuatu yang seharusnya menjadi milik bersama justru dirampas untuk kepentingan segelintir orang?


Halaman:

Komentar