Skandal Ijazah Jokowi: Universitas Gagal Merdeka

- Selasa, 15 April 2025 | 04:25 WIB
Skandal Ijazah Jokowi: Universitas Gagal Merdeka


Skandal Ijazah Jokowi: 'Universitas Gagal Merdeka'


Oleh: Damai Hari Lubis

Pengamat Kebijakan Umum Hukum dan Politik


Di tengah gelombang skeptisisme publik terhadap integritas pemimpin nasional, muncul satu pertanyaan besar yang menggema tanpa jawaban memadai: mengapa civitas akademika Universitas Gadjah Mada (UGM) bungkam menghadapi isu ijazah Presiden Joko Widodo yang dituduh palsu? 


Padahal, UGM-lah yang selama ini diklaim sebagai kampus tempat Jokowi mengenyam pendidikan tinggi.


Kebisuan ini ironis. Sebab, gugatan terhadap keabsahan ijazah Jokowi bukan muncul dari ruang kosong. Beberapa pihak, seperti Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA), telah menempuh jalur hukum. 


Dua figur penting yang juga alumnus UGM, Dr. Roy Suryo dan Dr. Eng. Rismon H. Sianipar, bahkan telah mempublikasikan analisis digital dan akademik yang menyatakan bahwa ijazah tersebut tak memiliki validitas administratif.


Namun respons UGM mengecewakan. Rektor UGM Prof. Ova Emilia dan Guru Besar Hukum Pidana Prof. Marcus Priyo Gunarto justru memilih menjadi pagar betis bagi kekuasaan, bersikukuh bahwa ijazah Jokowi sah. Mereka menyodorkan pembelaan yang mengejutkan nalar: arsip-arsip tentang Jokowi hilang.


Apakah sebuah institusi sebesar UGM—yang notabene adalah kampus pelopor dan simbol intelektualitas bangsa—kehilangan seluruh dokumen mahasiswa, agenda KKN, daftar wisudawan, hingga foto asli ijazah hanya karena alasan administratif? Bila iya, ini bukan sekadar kelalaian, tapi malapraktik akademik yang patut diadili.


Yang menyedihkan, alih-alih melakukan introspeksi, UGM justru menyulap absurditas ini menjadi narasi pembenaran. 


Mereka tak menampilkan laporan kehilangan ke Direktorat Pendidikan Tinggi atau ke pihak Kepolisian, seperti seharusnya protokol akademik dilakukan. 


Tidak ada audit forensik internal, tidak ada pembentukan tim etik, tidak ada dialog publik.


Di tengah itu semua, mahasiswa dan civitas akademika UGM justru menampilkan sikap pasif, bahkan nyaris apatis. 


Di mana suara lantang mahasiswa seperti era Orde Baru dulu, yang mampu mengguncang kekuasaan hanya dengan poster, puisi, dan orasi di selasar kampus? Mengapa kini mereka diam, padahal integritas kampus sedang dirampok di siang bolong?


Seolah kampus ini telah dijatuhi kutukan: kehilangan keberanian, kehilangan nurani.

Halaman:

Komentar