Mengapa Usulan Wapres Gibran Diganti Sangat Sulit Dilakukan: Prabowo Masih Memerlukan Jokowi?

- Selasa, 29 April 2025 | 06:45 WIB
Mengapa Usulan Wapres Gibran Diganti Sangat Sulit Dilakukan: Prabowo Masih Memerlukan Jokowi?


Mengapa Usulan Wapres Gibran Diganti Sangat Sulit Dilakukan: 'Prabowo Masih Memerlukan Jokowi?'


Forum Purnawirawan Prajurit TNI mengusulkan agar Gibran Rakabuming Raka dicopot dari jabatan sebagai wakil presiden (wapres). Mengapa analis hukum dan politik menganggap langkah itu "sangat-sangat sulit" dilakukan?


Ahli hukum tata negara, Bivitri Susanti mengatakan, landasan pelanggaran hukum untuk melakukan pemakzulan ke putra sulung Presiden Ke-7 Joko Widodo itu menurutnya masih lemah, termasuk jika menggunakan alasan perubahan aturan batas usia yang melanggengkan Gibran menjadi cawapres.


"Gibran itu berdua sama Prabowo dalam setiap proses pilpres lalu. Jadi enggak mungkin Gibran saja dianggap salah…Kecuali kalau misalnya nih, Gibran tertangkap sendirian melakukan perbuatan tercela, misalnya mabuk, atau misalnya dia korupsi sendirian, itu baru kuat, tapi lagi-lagi itu juga tidak mudah," kata Bivitri ke BBC News Indonesia, Senin (28/04).


Dari sisi politik, pengamat politik dari Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) Firman Noor pun melihat peluang pemakzulan Gibran sangat kecil.


"Prabowo itu masih melihat Jokowi sebagai satu elemen penting dalam dunia politik yang tidak bisa dia tinggalkan, manakala dia ingin nyaman dan langgeng berkuasa," kata Firman.


Sebelumnya, Forum Purnawirawan Prajurit TNI mengusulkan agar Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mencopot Gibran dari jabatan orang nomor dua di Indonesia.


Mereka memandang keputusan MK tentang Pasal 169 UU Pemilu, yang membuat Gibran dapat menjadi cawapres, telah melanggar hukum acara MK dan UU Kekuasaan Kehakiman.


Menanggapi sikap Forum Purnawirawan Prajurit TNI itu, Penasihat Khusus Presiden Bidang Politik dan Keamanan, Wiranto mengatakan Presiden Prabowo tidak dapat memberikan respons secara spontan atas usulan itu karena perlu mempelajari secara cermat isi dari setiap poin yang diajukan.


'Sangat-sangat sulit' dari sisi tata negara


Pemberhentian presiden dan atau wakil presiden diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.


Pasal 7A dalam UUD menjelaskan pemberhentian dapat dilakukan apabila mereka "terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden."


Berkaca pada alasan itu, ahli hukum tata negara Bivitri Susanti menilai sulit mencari rujukan atau landasan pelanggaran hukum yang bisa digunakan untuk memakzulkan Gibran.


"Kalau acuannya apa yang terjadi waktu pilpres. MK telah memutuskan tidak ada pelanggaran hukum di situ [sengketa pilpres]," kata Bivitri.


Dia juga mengatakan adanya pelanggaran etika dalam putusan MK Nomor 90 tentang batas usia yang melanggengkan Gibran menjadi cawapres juga masih lemah. "Itu kan putusannya pelanggaran etika, bukan hukum."


Selain itu Bivitri juga menegaskan bahwa dalam setiap proses pilpres lalu, Gibran merupakan pasangan Prabowo. "Jadi enggak mungkin Gibran saja dianggap salah. Jadi enggak bisa dipisahkan [mereka] kalau rujukannya Putusan 90, putusan MK [sengketa], dan hal-hal yang terkait pencalonan pilpres," katanya.


"Kecuali kalau misalnya nih, Gibran tertangkap sendirian melakukan perbuatan tercela, misalnya mabuk, atau misalnya dia korupsi sendirian, itu baru kuat, tapi lagi-lagi itu juga tidak mudah," tambahnya.


Selain itu, kata Bivitri, proses pemakzulan yang rinci dan panjang pun membuat hal itu menjadi hampir mustahil terjadi.


Pasal 7B UUD 1945 menjelaskan bahwa DPR harus mengajukan permintaan ke MK untuk memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR bahwa presiden atau wapres telah melakukan pelanggaran hukum, perbuatan tercela atau tak lagi memenuhi syarat.


Permintaan ini dapat diajukan ke MK jika mendapat dukungan dan sidang paripurna dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR.


Jika MK memutuskan terjadinya pelanggaran itu lalu DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usulan pemberhentian ke MPR.


Terakhir, MPR mengambil keputusan yang harus dihadiri sekurang-kurangnya ¾ jumlah anggota dan disetujui sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir.


Proses itu, kata Bivitri, harus melewati negosiasi politik yang rumit dan menantang, apalagi tujuh dari delapan fraksi di DPR merupakan koalisi pemerintahan Prabowo-Gibran.


"Sangat-sangat sulit. Kecuali kalau memang fraksi yang dikuasai Prabowo itu kompak. Tapi kan guncangan politik ini pasti enggak main-main, mereka akan hitung-hitungan di situ," kata Bivitri.


Selain dalam konteks pilpres, pakar hukum tata negara UGM, Zainal Arifin Mochtar memandang sebenarnya Gibran dapat dikaitkan dengan sejumlah isu yang pernah menerpanya.


"Lebih baik DPR memulai dengan, silakan misalnya kalau Gibran dianggap tidak memenuhi syarat sebagai wapres, kan barang kali sempat heboh-heboh soal ijazah, silakan kalau memang ditemukan bukti yang kuat soal itu."


"Kalau misal perbuatan tercela, silakan apakah konteks Fufufafa, betulkan dia yang melakukan, silakan itu dielaborasi. Lalu kalau bentuk pidananya misalnya, Ubedilah pernah lapor Gibran ke KPK."


"Kalau masing-masing itu bisa dibuktikan secara hukum, saya kira bisa dilanjutkan ke proses impeachment melalui DPR. Tapi tanpa pembuktian, tiba-tiba melompat pada kesimpulan bahwa impeachment harus dilakukan, menurut saya itu tidak tepat."


Bagaimana dari sisi politik?


Senada, pengamat politik BRIN Firman Noor juga melihat bahwa Prabowo tidak mungkin bergerak atau menindaklanjuti usulan dari Forum Purnawirawan TNI itu.


Analisis dia karena Prabowo masih memerlukan Jokowi.


"Prabowo itu masih melihat Jokowi sebagai satu elemen penting dalam dunia politik yang tidak bisa dia tinggalkan, manakala dia ingin nyaman dan langgeng berkuasa," kata Firman.

Halaman:

Komentar