Rahasia Empat Pulau Aceh: Tanya Rembulan, Tanya Rumput di Pulau Panjang

- Senin, 16 Juni 2025 | 13:00 WIB
Rahasia Empat Pulau Aceh: Tanya Rembulan, Tanya Rumput di Pulau Panjang


Rahasia Empat Pulau Aceh: 'Tanya Rembulan, Tanya Rumput di Pulau Panjang'


Keputusan Menteri Dalam Negeri RI Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang diteken pada 25 April 2025 mengubah banyak hal bagi Aceh. 


Di atas kertas, keputusan itu menyangkut pemutakhiran data wilayah administrasi dan pemberian kode wilayah. 


Tetapi banyak pihak menilai keputusan tersebut sebagai bentuk perampasan wilayah yang melukai harga diri dan melanggar semangat perjanjian damai MoU Helsinki.


EMPAT pulau yaitu Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Ketek, dan Pulau Mangkir Gadang tidak lagi tercatat sebagai bagian dari Aceh. 


Keputusan ini sontak menuai gelombang kekecewaan. Sebab bagi banyak pihak di Aceh, hilangnya pulau-pulau itu bukan hanya soal batas, melainkan soal harga diri.


Gubernur Aceh Muzakir Manaf alias Mualem, secara blak-blakan menyebut perebutan empat pulau bukan sekedar pengalihan wilayah, tapi karena sumber daya alam yang ada.


“Intinya kenapa sekarang berebut empat pulau itu, tau tak? Itu kandungan energi, kandungan gasnya sama besar dengan di Andaman, itu permasalahannya,” kata Mualem saat pelantikan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Sabang pada Sabtu 14 Juni 2025.


“Nyoe rahasia peugah bak droen, bek peugah bak gob (Ini rahasia saya bilang kepada kalian, jangan bilang-bilang ke orang),” singgung Mulaem dengan nada pelan.


Menurut dia, Aceh adalah pemilik empat pulau tersebut. Dia menyarankan agar keberadaan pulau itu bukan sesuatu yang perlu diperdebatkan lagi karena secara historis dan kultural merupakan bagian dari identitas Aceh.


“Tapi yang jelas empat pulau itu hak kita, kita punya. Buat apa kita teriak ini teriak itu, itu hal kita, cuma kita selow aja gak apa-apa.”


“Han dipateh tanyong bak rembulan, tanyong bak rumput di Pulau Payang (Kalau tidak percaya tanya kepada rembulan, tanya kepada rumput di Pulau Panjang),” kata Mualem.



Polemik empat pulau tersebut juga mendapat respon dari Forum Bersama (Forbes) DPR/DPD RI asal Aceh. 


Politisi Partai Gerindra, TA Khalid mengatakan akan mengambil kembali empat pulau tersebut untuk masuk ke wilayah Aceh.


“Bukti-bukti sejarah, dan bukti-bukti geografis menunjukkan itu memang sah milik kita. Maka Insya Allah kami bersepakat mempertahankan dan wajib dikembalikan,” kata Ketua Forbes itu.


Anggota DPR itu juga menyinggung polemik empat pulau ini tidak akan digugat. Dikarenakan milik Aceh. 


Forbes bersama Pemerintah Aceh akan mengambil langkah administratif dan pendekatan politik untuk penyelesaian.


“Langkah politis macam-macam, ada langkah politis komunikasi termasuk langkah politis gerakan,” ujar dia.


Langgar Perjanjian Damai


Keputusan Menteri Dalam Negeri terkait empat pulau tersebut dari Aceh juga melanggar perjanjian damai. 


Mantan Juru Runding Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Munawar Liza Zainal menganggap keputusan Mendagri sebagai pelanggaran serius.


Bukan hanya terhadap UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, tapi juga terhadap semangat dan substansi Memorandum of Understanding atau MoU Helsinki perjanjian damai antara Pemerintah RI dan GAM yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005.


“Ada pejabat pemerintah di Jakarta yang bilang MoU Helsinki tidak bisa dijadikan dasar. Saya kira itu orang tidak paham sejarah perdamaian Aceh," kata Munawar Liza, saat dijumpai di Banda Aceh, Senin, 16 Juni 2025.


"Karena MoU itulah tentara non-organik ditarik, karena MoU senjata dipotong, karena MoU ada partai lokal, dan karena MoU juga batas Aceh dirujuk ke 1 Juli 1956,” sambungnya.


Munawar menjelaskan, jika negara mau jujur, cukup membuka peta wilayah Aceh pada 1956. 


Bahkan disebutkan batas wilayah Aceh saat itu jauh lebih luas, hingga mencakup wilayah Besitang di Sumatera Utara.


“Misalnya dalam MoU disampaikan bahwa Aceh begini, maka oleh Pemerintah Indonesia mengikuti nya dengan membuat hukum positif Undang-undang nomor 11/2006, jadi bukan dengan lahirnya UU Nomor 11 2006 ini MoU Helsinki kita lupakan itu, tidak demikian," ujarnya.


Selain substansi, Munawar menilai prosedur yang ditempuh Mendagri juga cacat hukum. 


Ia merujuk pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2008 yang mengatur mekanisme konsultasi antara kementerian dan Pemerintah Aceh dalam setiap kebijakan yang berkaitan dengan kekhususan Aceh.


“Menteri apapun itu sebagai pemrakarsa mereka harus mengirimkan drafnya ke Pemerintah Aceh untuk konsultasi dan mendapat pertimbangan. Kalau bahasa undang-undang, kalau bahasa MoU bahkan lebih keras yakni persetujuan, bisa setuju bisa tidak setuju,” kata dia.


Tak hanya aturan serupa berlaku. Bahkan urusan pengangkatan pejabat tinggi seperti kepala kepolisian dan kepala kejaksaan harus ada persetujuan Pemerintah Aceh.


“Inilah keistimewaan Aceh. Tidak bisa disamakan dengan provinsi lain,” kata Munawar.


MoU Helsinki


Meski dalam Nota Kesepahaman MoU Helsinki tidak secara detail disebutkan batas yang menjadi perbatasan Aceh, Mantan Anggota Tim Perundingan GAM ini juga menegaskan batas Aceh yang diakui dalam MoU mengacu pada kondisi wilayah tahun 1956.


Munawar juga mengingatkan perundingan damai, GAM telah memberikan banyak kompromi besar, termasuk mengesampingkan tuntutan kemerdekaan dan referendum. 


Sebagai gantinya, Aceh diberikan kewenangan khusus yang bersifat self-government, dengan hanya enam urusan yang tetap menjadi domain pemerintah pusat.

Halaman:

Komentar