Sebab, Nabi adalah sosok yang membawa wahyu, mengajarkan nilai-nilai rahman–rahim, menegakkan keadilan atas nama Tuhan.
Sementara Jokowi? Kita lihat bagaimana hukum tumpul ke atas, bagaimana kekuasaan disulap jadi dinasti, bagaimana proyek IKN lebih penting dari pendidikan.
Menyamakannya dengan nabi bukan pujian, itu satire yang menyakitkan—tanpa mereka sadari.
Lucunya, pemujaan ini juga menelanjangi wajah asli Jokowi.
Jika kita tarik lebih jauh, Jokowi dalam versi PSI ini adalah inkarnasi Machiavelli, tapi dalam gaya Javanese smile yang lembut dan terkesan polos.
Ia bisa mencengkeram tanpa menggertak, bisa menyingkirkan lawan dengan senyuman, dan bisa membangun kekuasaan dengan wajah rakyat kecil.
Jokowi versi ini lebih kejam dari “The Prince”–nya Machiavelli, sebab ia tidak sekadar menggunakan kekuasaan demi stabilitas, tapi menciptakan dinasti dan buzzer untuk membentuk realitas.
Dan ironisnya, kader-kader PSI justru sedang tanpa sadar membongkar semua itu lewat pujian mereka.
Yang mereka anggap sebagai kultus, justru memperlihatkan wajah tirani dengan topeng populisme.
Ini bukan pujian, ini adalah pengkhianatan terhadap akal sehat dan harga diri demokrasi.
Di sini kita menyaksikan tragedi besar dalam politik Indonesia hari ini: generasi muda politik justru kehilangan ideologi, lalu mencari ganti pada sosok yang sedang berkuasa.
Mereka tidak ingin berpikir, hanya ingin menang. Maka mereka cari simbol yang paling kuat, dan menumpang di sana.
Sayangnya, dalam dunia ide dan politik, menumpang tanpa berpikir hanya akan melahirkan generasi pengikut, bukan pemimpin.
PSI seharusnya menjadi partai masa depan, dengan anak-anak muda yang cerdas dan kritis.
Tapi jika sejak awal sudah menjadikan “Jokowi” sebagai ideologi dan “nabi”, maka tunggulah kehancurannya.
Sebab dalam sejarah, semua kultus berakhir tragis. Dan para pengkultus, biasanya tidak pernah tahu mengapa mereka ikut terseret.
Semoga suatu hari nanti, kader-kader PSI bisa membaca ulang buku The Prince, atau minimal membuka kamus filsafat politik sebelum berbicara.
Sebab, mencintai pemimpin itu boleh. Tapi menjadikannya tuhan, itu penyakit. Dan penyakit itu sedang mewabah—di tubuh PSI. ***
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
5 Cara Ampuh Mengamankan Transaksi Digital di Game Online
Luhut Usul Family Office Pakai APBN, Purbaya Menolak: Bangun Saja Sendiri!
Anak Riza Chalid Dihukum atas Korupsi Minyak Pertamina yang Rugikan Negara Rp285 Triliun
Arsip Ijazah Jokowi Didesak Dibuka ANRI oleh Bonatua Silalahi dalam Sidang Sengketa Informasi Publik