ENAM bulan lalu, tepatnya tanggal 10 Februari 2025, saya menulis dan merilis artikel dengan judul "Rivalitas Prabowo vs Jokowi".
Di hari yang sama, Presiden Prabowo Subianto pidato di acara Muktamar Muslimat NU di Surabaya. Kata Prabowo: "ada yang berusaha memisah-misahkan saya dengan Pak Jokowi. Lucu juga. Sebagai bahan ketawaan boleh".
Beberapa hari berikutnya, Prabowo pidato di HUT Gerindra. Salah satu kalimat yang disampaikan Prabowo dalam pidato itu adalah "hidup Jokowi".
Publik awam bertanya-tanya: "Kok Prabowo masih terintervensi oleh Jokowi"
Sebagai politisi, narasi Prabowo harus dipahami sebagai narasi politik. Prabowo, tentu tidak ingin hubungannya dengan Jokowi rusak.
Apalagi, kursi kekuasaannya baru berusia kurang dari empat bulan. Prabowo perlu membangun kekuatan. Merangkul semua simpul kekuatan, dan menghindari potensi benturan, termasuk dengan Jokowi.
Prabowo tidak perlu berhadap-hadapan dengan kekuatan dari luar, termasuk dengan pihak Jokowi yang masih cukup kuat.
Tapi, keadaan pada akhirnya akan memaksa Prabowo berhadap-hadapan dengan Jokowi. Sebagaimana Jokowi vs Megawati. Suka tidak suka, fakta ini akan terjadi.
Kenapa Prabowo harus berhadapan dengan Jokowi? Bukankah tanpa Jokowi, Prabowo diprediksi tidak akan menang di Pilpres 2024 kemarin?
Menghindari terjadinya bias, analisis psikologis dan moral harus dikesampingkan. Sebab, urusan Jokowi vs Prabowo bukan soal moral.
Ini tidak ada kaitannya dengan "kewajiban" balas budi. Juga bukan soal psikologis, karena ini tidak ada hubungannya dengan empati dan urusan terima kasih. Ini soal "satu kursi" dan "pengaruh politik" yang diperebutkan.
Prabowo ingin jadi presiden seutuhnya. Presiden yang mandiri tanpa intervensi. Di sisi lain, nasib dan masa depan Gibran Rakabuming Raka ada di pundak Jokowi. Sang ayah sekaligus mentor Gibran.
Tanggung jawab ini yang memaksa Jokowi untuk melakukan intervensi pada kekuasaan. Ini satu-satunya cara untuk memastikan adanya peluang buat masa depan Gibran.
Saat ini, Gibran sebagai wapres. Langkah berikutnya tentu ingin menjadi presiden. Kapan? Setelah Prabowo. Bisa setelah satu periode, atau dua periode. Bisa jadi sebelum genap satu periode. Semua serba mungkin terjadi.
Prabowo pasti ingin dua periode. Adakah jaminan Prabowo akan bergandengan dengan Gibran di Pemilu 2029? Tidak ada. Kecuali jika Jokowi ikut mengawal dan mengendalikan Prabowo di periode pertama. Di sinilah masalah krusial itu muncul.
Jokowi ingin kendalikan, minimal intervensi terhadap Prabowo. Ini untuk memberi kepastian dan jaminan bagi putra sulungnya, yaitu Gibran. Sementara Prabowo, pasti menolaknya. Tidak ada kekuasaan yang ingin diintervensi, apalagi dikendalikan.
Tak ada matahari kembar. Matahari Indonesia hanya satu, yaitu Prabowo. Jokowi, apalagi Gibran, tidak boleh menjadi matahari tandingan. Pemimpin itu tunggal. Raja itu hanya satu. Tidak ada raja yang lain.
Rivalitas Prabowo vs Jokowi merupakan kondisi objektif yang tidak bisa dihindari. Prabowo akan membentengi kekuasaannya dengan membatasi, bahkan menghindari sama sekali terhadap intervensi Jokowi.
Jokowi, untuk memenuhi tanggung jawab bagi masa depan putranya, ia akan melawan Prabowo. Rivalitas itu sedang berjalan.
Sejumlah pengusaha yang dianggap dekat dekat dengan Jokowi, sebut saja Mohammad Riza Chalid, Wilmar, Aguan, Tomy Winata, pemilik bank swasta terbesar yaitu BCA, mulai disingkirkan Prabowo. Prabowo sedang bersihkan para taipan yang dianggap dekat dengan Jokowi.
Di sisi lain, dua tokoh yang menjadi rival Jokowi yaitu Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto mendapatkan abolisi dan amnesti, hanya hitungan hari setelah vonis.
Dalam kasus ini, banyak pakar hukum pidana yang menganggap Prabowo off side. Langkah out of the box Prabowo dibaca publik sebagai bentuk nyata genderang perlawanan kepada Jokowi.
Minggu siang, 31 Agustus 2025, Prabowo melakukan konferensi pers bersama para pimpinan partai. Bahkan, Megawati yang notabene bukan bagian dari partai koalisi ikut hadir.
Sementara Gibran, sang wapres tidak terlihat mendampingi Prabowo. Padahal, konferensi pers ini terkait dengan sesuatu yang sangat krusial yaitu adanya ancaman stabilitas keamanan bangsa.
Konferensi pers ini seperti memberi sinyal kuat ke publik bahwa Prabowo tidak sedang bersama Jokowi.
Apakah kerusuhan sistemik tanggal 27-31 Agustus 2025 yang menyebar di berbagai wilayah di Indonesia merupakan panggung rivalitas Jokowi vs Prabowo?
Banyak spekulasi mengarah kesana.
OLEH: TONY ROSYID
Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
______________________________________
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan PARADAPOS.COM terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi PARADAPOS.COM akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
Artikel Terkait
Dinilai Lukai Hati Rakyat, PDIP Didesak Segera Copot Deddy Sitorus dari Anggota DPR
BEM Unisba Akui Polisi Serbu Kampus
Nasdem Minta Gaji, Tunjangan, Hingga Fasilitas yang Melekat ke Sahroni dan Nafa Urbach Dicabut
Beredar Surat Imbauan Pam Swakarsa di Seluruh Indonesia, Mabes TNI Buka Suara