“Menyebut negara tidak hadir adalah simplifikasi yang menyesatkan. Upaya pemulihan bencana adalah kerja besar dan kolektif. Mengerdilkan semua itu hanya demi framing konten adalah bentuk ketidakadilan informasi,” ungkapnya.
Kebebasan Berekspresi Bukan Tanpa Batas
Dari perspektif demokrasi dan HAM, Risnauli mengingatkan bahwa kebebasan berekspresi harus mempertimbangkan akibat sosial, psikologis, dan hukum, terutama dalam situasi darurat bencana.
“Demokrasi bukan berarti bebas melukai. HAM bukan alat untuk menjustifikasi framing. Dan gender justice mengajarkan bahwa perempuan harus dilindungi dari narasi yang memperparah kerentanan,” tambahnya.
Ia mengajak seluruh konten kreator dan figur publik untuk lebih berempati, bertanggung jawab, dan mengedepankan verifikasi informasi terkait bencana.
“Korban bencana butuh empati, bukan sensasi. Mereka butuh penguatan, bukan ketakutan baru. Jangan jadikan penderitaan rakyat sebagai panggung personal,” tutup Risnauli.
Pernyataan Ferry Irwandi yang Memicu Kontroversi
Dalam kontennya, Ferry Irwandi menyatakan mendengar cerita-cerita horor di tengah bencana, salah satunya banyak perempuan yang mengalami pemerkosaan.
“Ceritain aja lah, tadi aku dikasih voice note, dikasih cerita horor ada pemerkosaan ya. Manusia dalam kondisi yang social culture, situasi kelompok masyarakat yang udah separah itu ya dan dalam situasi seburuk itu,” ucap Ferry seperti dikutip.
Artikel Terkait
Mahfud MD: Tuntutan Pecat Pejabat Pasca Bencana Sumatera Dinilai Tidak Relevan
Klaim Listrik Aceh 93% Menyala vs Fakta: Banda Aceh Baru 40%, Ini Data Realnya
Klarifikasi Resmi UGM Soal AI LISA Sebut Jokowi Bukan Alumni: Fakta dan Penjelasan
Desakan Pecat Menhut Raja Juli: Prabowo Diminta Bertindak Usai Bencana Sumatera