Monolog Gibran Soal Bonus Demografi Menohok Dirinya Sendiri

- Kamis, 24 April 2025 | 05:00 WIB
Monolog Gibran Soal Bonus Demografi Menohok Dirinya Sendiri


Dalam konteks kritik, dia mempertanyakan apakah sejumlah masukan dan peringatan yang disampaikan masyarakat sipil, khususnya anak muda didengar oleh pemerintah yang berkuasa?


Buktinya, kata Widyanto, kritikan masyarakat terkait tagar 'Indonesia Gelap' justru dijawab dengan sentimen negatif. 


Tergambar dari tanggapan Ketua Dewan Ekonomi Nasional, Luhut Binsar Pandjaitan yang menuding balik publik yang menyuarakannya dengan kalimat "Kau yang gelap! Bukan Indonesia."


"Artinya bahwa Gibran sebagai wakil presiden juga tidak melek terhadap kritikan dari kaum muda. Yang dinyatakan apa yang ada di pikirannya saja, yang normatif-normatif saja. Sementara realitanya tidak demikian," katanya.


Realita Anak Muda


Hal serupa disampaikan peneliti dari Center of Economics and Law Studies (Celios) Nailul Huda. 


Menurutnya narasi Gibran soal bonus demografi Indonesia hanya sebuah klise.


Ketika putra sulung Jokowi itu menyampaikan penentu tercapainya bonus demografi Indonesia adalah 'teman-teman semua' yang merujuk kepada anak muda, Gibran seharusnya berkaca dari situasi ketersedian lapangan pekerjaan saat ini.


"Bonus demografi sudah menjadi bencana demografi ketika pemuda kita banyak yang menjadi pengangguran," kata Huda.


Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2024 tentang Tingkat Pengangguran Terbuka atau TPT berdasarkan kelompok usia, menunjukkan persentase kelompok usia muda 15-19 tahun sebesar 22,34 persen, dan TPT usia 20-24 tahun sebesar 15,34 persen. 


Sementara persentase rata-rata TPT nasional berada di angka 4,91 persen.


"Artinya tingkat pengangguran nasional banyak disebabkan oleh pemuda yang menganggur. Kondisi tersebut bisa menyebabkan generasi pemuda kita akan mempunyai pendapatan terbatas, namun dihadapkan pada biaya hidup yang tinggi," jelas Huda.


Kondisi tersebut semakin mengkhawatirkan ketika banyak pemuda yang akhirnya bekerja menjadi setengah pengangguran yang jumlahnya semakin meningkat. 


Mereka banyak bekerja di sektor informal yang tidak memberikan kesejahteraan yang lebih baik. 


Sehingga untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti asuransi kesehatan dan pendidikan mereka tidak sanggup.


Tak hanya itu, merujuk pada data BPS pada 2024 terdapat hampir 10 juta Gen Z atau anak muda berusia 15-24 tahun menganggur: tidak bekerja, tidak sedang menempuh pendidikan, dan pelatihan atau Not Employment, Education, or Training (NEET). 


Bahkan Indonesia pada 2021 pernah menempati persentase NEET tertinggi di Asia Tenggara.


Sementara pada 2025, angka pemutusan hubungan kerja atau PHK mengalami peningkatan. 


Data Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan pada Januari hingga Februari terdapat 18.610 pekerja yang terkena PHK.


"Kondisi pemuda yang di kategori NEET, membuat bonus demografi menjadi ancaman nyata bahwa semakin banyak pengangguran usia muda ke depan," kata Huda.


Agar bonus demografi tidak menjadi bencana demografi, Guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Andalas (Unand) Padang Syafruddin Karimi menekankan generasi muda harus ditempatkan di pusat perencanaan pembangunan.


"Bukan sekadar disebut sebagai harapan bangsa tanpa ruang aktual untuk berperan," kata Syafruddin.


Maka dari itu harus dipastikan setiap anak muda di Indonesia mendapat ruang tumbuh yang adil dan bermakna. 


Pemerintah harus membuka jalan dengan berinvestasi sumber daya manusia dengan memberikan akses pendidikan berkualitas, akses kerja yang layak, dan peluang kewirausahaan yang nyata.


Menurutnya, tanpa kebijakan afirmatif yang berpihak kepada generasi muda, Indonesia hanya membangun istana dari bayangan.


"Potensi akan tetap menjadi potensi, bukan capaian," jelasnya.


Sumber: Suara

Halaman:

Komentar