Gak Guna! Panas Isu Soal Wakil Rakyat, 2 Presiden Indonesia Pernah Berupaya Bubarkan DPR RI

- Jumat, 22 Agustus 2025 | 08:25 WIB
Gak Guna! Panas Isu Soal Wakil Rakyat, 2 Presiden Indonesia Pernah Berupaya Bubarkan DPR RI




PARADAPOS.COM - Teriakan "bubarkan DPR" kembali menggema di media sosial di tengah banyaknya isu panas mengenai lembaga tersebut, mulai dari gaji anggota DPR RI hingga kinerjanya yang dinilai tak mewakili rakyat.


Di tengah panasnya isu mengenai kinerja anggota dewan belakangan ini, Indonesia memiliki jejak sejarah ketika Presiden RI dan DPR RI berada di titik nadir hubungan mereka.


Dua sosok presiden dengan latar belakang dan era yang berbeda, Soekarno dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sama-sama pernah mengeluarkan dekrit pembubaran DPR RI karena menganggap lembaga legislatif tidak lagi sejalan dengan semangat negara.


Era Soekarno: Dari Dekrit Presiden Hingga Lahirnya DPR Gotong Royong


Kisah pembubaran DPR RI pertama terjadi di era kepemimpinan Presiden RI pertama, Soekarno.


Puncaknya adalah ketika situasi politik negara berada dalam ketidakpastian di bawah sistem Demokrasi Parlementer.


Konstituante, badan yang bertugas merumuskan UUD baru pengganti UUDS 1950, gagal mencapai kesepakatan setelah bertahun-tahun bersidang.


Melihat kebuntuan politik yang berlarut-larut, Soekarno mengambil langkah radikal dengan mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 yang membubarkan Konstituante dan menyatakan kembalinya Indonesia ke UUD 1945.


Meski awalnya dekrit ini tidak membubarkan DPR hasil Pemilu 1955, konflik antara presiden dan parlemen tak terhindarkan.


DPR menolak Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) yang diajukan oleh pemerintah yang dinilai sebagai bentuk pembangkangan oleh Soekarno.


Karena itu, Soekarno mengeluarkan Penetapan Presiden No. 3 Tahun 1960 yang secara resmi membubarkan DPR hasil pemilu.


Tak berhenti di situ, ia kemudian membentuk DPR Gotong Royong (DPR-GR), di mana seluruh anggotanya ditunjuk langsung oleh presiden, bukan lagi melalui pemilihan umum.


Langkah ini menandai dimulainya era Demokrasi Terpimpin, di mana kekuasaan eksekutif menjadi sangat dominan.


Era Gus Dur: Maklumat di Ujung Kekuasaan


Langkah serupa juga pernah dicoba oleh Presiden ke-4 RI, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.


Teriakan "bubarkan DPR" kembali menggema di media sosial di tengah banyaknya isu panas mengenai lembaga tersebut, mulai dari gaji anggota DPR RI hingga kinerjanya yang dinilai tak mewakili rakyat.


Di tengah panasnya isu mengenai kinerja anggota dewan belakangan ini, Indonesia memiliki jejak sejarah ketika Presiden RI dan DPR RI berada di titik nadir hubungan mereka.


Dua sosok presiden dengan latar belakang dan era yang berbeda, Soekarno dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sama-sama pernah mengeluarkan dekrit pembubaran DPR RI karena menganggap lembaga legislatif tidak lagi sejalan dengan semangat negara.


Era Soekarno: Dari Dekrit Presiden Hingga Lahirnya DPR Gotong Royong


Kisah pembubaran DPR RI pertama terjadi di era kepemimpinan Presiden RI pertama, Soekarno.


Puncaknya adalah ketika situasi politik negara berada dalam ketidakpastian di bawah sistem Demokrasi Parlementer.


Konstituante, badan yang bertugas merumuskan UUD baru pengganti UUDS 1950, gagal mencapai kesepakatan setelah bertahun-tahun bersidang.


Melihat kebuntuan politik yang berlarut-larut, Soekarno mengambil langkah radikal dengan mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 yang membubarkan Konstituante dan menyatakan kembalinya Indonesia ke UUD 1945.


Meski awalnya dekrit ini tidak membubarkan DPR hasil Pemilu 1955, konflik antara presiden dan parlemen tak terhindarkan.


DPR menolak Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) yang diajukan oleh pemerintah yang dinilai sebagai bentuk pembangkangan oleh Soekarno.


Karena itu, Soekarno mengeluarkan Penetapan Presiden No. 3 Tahun 1960 yang secara resmi membubarkan DPR hasil pemilu.


Tak berhenti di situ, ia kemudian membentuk DPR Gotong Royong (DPR-GR), di mana seluruh anggotanya ditunjuk langsung oleh presiden, bukan lagi melalui pemilihan umum.


Langkah ini menandai dimulainya era Demokrasi Terpimpin, di mana kekuasaan eksekutif menjadi sangat dominan.


Era Gus Dur: Maklumat di Ujung Kekuasaan


Langkah serupa juga pernah dicoba oleh Presiden ke-4 RI, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.


Pada Juli 2001, hubungan antara Gus Dur dengan MPR RI dan DPR RI yang dipimpin oleh Amien Rais dan Akbar Tandjung mencapai titik terpanas.


Saat itu, DPR RI gencar mendorong pemakzulan Gus Dur melalui isu skandal "Buloggate" dan "Bruneigate".


Merasa dijegal secara politis, Gus Dur melakukan perlawanan dengan mengeluarkan maklumat yang berisi tiga poin krusial: membekukan MPR/DPR, mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dengan mempercepat pemilu dalam waktu satu tahun, dan membekukan Partai Golkar pada 23 Juli 2001 dini hari.


Namun, nasib maklumat Gus Dur berbeda dengan dekrit Soekarno.


Langkahnya membubarkan DPR RI dan MPR RI tidak mendapat dukungan dari militer (TNI) dan kepolisian.


Para pimpinan DPR dan elite politik lainnya menolak maklumat tersebut dan tetap melanjutkan Sidang Istimewa MPR yang pada akhirnya melengserkan Gus Dur dari kursi kepresidenan.


Sayangnya, sekarang ini Presiden RI tak bisa lagi mengeluarkan dekrit untuk membubarkan DPR RI seperti 2 Presiden RI terdahulu.


Karena pasca-reformasi, UUD 1945 mengalami beberapa kali amandemen untuk memperkuat sistem checks and balances antarlembaga negara.


Salah satu pasal kunci yang ditambahkan adalah Pasal 7C UUD 1945, yang berbunyi: "Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat."


Pasal ini sengaja dibuat untuk mencegah terulangnya kembali dominasi eksekutif atas legislatif seperti yang terjadi di era Soekarno dan upaya yang dilakukan Gus Dur.


Sehingga kedudukan DPR RI sebagai lembaga perwakilan rakyat yang dipilih melalui pemilu dijamin oleh konstitusi dan tidak bisa diganggu gugat oleh presiden.


Sumber: Suara

Komentar