Mereka lebih suka "memotong kompas" langsung ke Presiden.
Fenomena ini juga mempertanyakan kembali efektivitas sistem menteri koordinator di Indonesia.
Secara teori, Menko adalah "tangan kanan" Presiden yang memastikan semua kementerian di bawahnya berjalan seirama.
Namun, dalam praktiknya, Menko seringkali tidak memiliki wewenang eksekusi yang kuat.
Mereka tidak bisa "memaksa" atau memberikan sanksi kepada menteri teknis yang tidak koordinasi.
Tanpa wewenang yang kuat, posisi Menko berisiko menjadi "macan ompong": terlihat gagah di atas kertas, namun tidak memiliki taring untuk menegakkan disiplin.
Curhat Mahfud MD soal Nadiem adalah bukti paling nyata dari frustrasi ini.
Nadiem Hanyalah Gejala?
Pada akhirnya, kasus Nadiem mungkin hanyalah gejala dari sebuah masalah sistemik yang lebih besar. Kesulitan koordinasi dan ego sektoral inilah "borok" yang sesungguhnya.
Jika tidak segera diatasi, masalah ini akan terus berulang, tidak peduli siapa pun menteri yang menjabat.
Korupsi yang terjadi di Kemendikbudristek bisa jadi adalah akibat paling fatal dari buruknya sistem pengawasan dan koordinasi ini.
"Curhat" Mahfud MD adalah sebuah peringatan keras bagi pemerintahan saat ini: benahi sistem koordinasi di Istana, atau bersiaplah menghadapi "Nadiem-Nadiem" lain di masa depan.
Menurut Anda, apakah sistem menteri koordinator di Indonesia masih relevan dan efektif?
Atau perlu ada perombakan besar dalam cara kerja kabinet?
Sumber: Suara
Artikel Terkait
Desak KPK Usut Tuntas! Jokowi & Luhut Didesak Jadi Tersangka Korupsi Kereta Cepat Whoosh
Bongkar Kasus Whoosh Busuk: KPK Selidiki Dugaan Korupsi Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung
KPK Sudah Selidiki Dugaan Korupsi Proyek Kereta Cepat Whoosh
Kaki Agus Pambagio Diinjak Wantimpres, KPK Ungkap Telah Lama Ketahui Dugaan Mark Up Proyek Whoosh