6 Tahun Buron dan Hukum Tak Bisa Menyentuhnya, Silfester Matutina Dijuluki Orang Sakti!

- Kamis, 02 Oktober 2025 | 02:10 WIB
6 Tahun Buron dan Hukum Tak Bisa Menyentuhnya, Silfester Matutina Dijuluki Orang Sakti!




PARADAPOS.COM - Ketua Umum Solidaritas Merah Putih (Solmet), Silfester Matutina, kembali jadi perbincangan publik.


Pria yang disebut-sebut "orang sakti" ini sudah divonis bersalah atas kasus ujaran fitnah terhadap Jusuf Kalla sejak enam tahun lalu, namun hingga kini eksekusi hukum belum juga dilakukan.


Kasus ini kembali viral setelah peneliti media dan politik, Buni Yani, mengunggah kritik pedas melalui akun Facebook pribadinya.


Ia menilai Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan seolah kehilangan taring dalam mengeksekusi putusan pengadilan yang sudah inkrah sejak 2019.


"Sudah enam tahun inkrah tapi tak kunjung dieksekusi. Orang ini benar-benar sakti," tulis Buni Yani, Rabu (1/10).


Ucapan itu langsung memicu diskusi hangat di jagat maya, menyoroti lemahnya penegakan hukum di Indonesia.


Latar Belakang Kasus Silfester Matutina


Nama Silfester mencuat sejak 15 Mei 2017, ketika ia berorasi di depan Mabes Polri.


Dalam orasi tersebut, ia menyebut Jusuf Kalla sebagai “akar permasalahan bangsa” dan menuding mantan wakil presiden itu menggunakan isu rasis untuk memenangkan pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno dalam Pilkada DKI Jakarta.


Ucapan tersebut berbuntut panjang. Jusuf Kalla melaporkan Silfester atas dugaan fitnah.


Kasusnya berlanjut hingga tingkat kasasi, di mana Mahkamah Agung pada 20 Mei 2019 melalui putusan Nomor 287 K/Pid/2019 memperberat vonis menjadi 1,5 tahun penjara.


Namun meski vonis sudah berkekuatan hukum tetap (inkrah), eksekusi terhadap Silfester tak kunjung dilaksanakan.


Bahkan pada Agustus 2025, Silfester masih sempat mengajukan Peninjauan Kembali (PK) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sayangnya, hakim memutuskan PK tersebut gugur.


Publik bertanya-tanya, mengapa vonis yang jelas-jelas inkrah bisa mandek hingga enam tahun? Beberapa analis menilai ada indikasi “tebang pilih” dalam penegakan hukum.


Di media sosial, sebagian netizen menyindir bahwa jika kasusnya menimpa masyarakat biasa, eksekusi sudah sejak lama dijalankan.


Ada pula yang menilai lambannya eksekusi ini menambah daftar panjang kasus hukum di Indonesia yang mandek karena faktor politik.


“Kalau rakyat jelata, sehari juga langsung ditangkap. Kalau tokoh politik, bisa bertahun-tahun nggak jelas,” tulis seorang pengguna X (Twitter) yang komentarnya ramai di-retweet.


Di sisi lain, pihak Kejari Jaksel belum memberi penjelasan detail mengapa eksekusi tertunda.


Hanya disebutkan bahwa proses hukum masih berjalan sesuai mekanisme.


Kasus Silfester bukan yang pertama menunjukkan lemahnya eksekusi hukum di Indonesia.


Laporan Komisi Yudisial dan ICW kerap menyoroti persoalan serupa: vonis inkrah tidak otomatis membuat pelaku masuk bui.


Di Bandung misalnya, kasus korupsi dana bansos pada 2023 juga sempat tertunda eksekusinya meski putusan sudah final.


Kondisi ini menimbulkan persepsi publik bahwa penegakan hukum di Indonesia masih jauh dari rasa keadilan.


Menurut pakar hukum pidana Universitas Indonesia, keterlambatan eksekusi bisa mengikis kepercayaan publik terhadap sistem hukum.


“Jika putusan pengadilan tidak dilaksanakan, bagaimana masyarakat bisa percaya hukum berlaku sama untuk semua orang?” katanya dalam sebuah diskusi hukum.


Kasus Silfester Matutina bukan hanya soal satu orang, tetapi juga tentang kredibilitas hukum di Indonesia.


Vonis yang sudah inkrah seharusnya menjadi dasar eksekusi, bukan malah menimbulkan tanda tanya besar.


Publik kini menunggu apakah aparat hukum akan bertindak tegas, atau justru membiarkan kasus ini berlarut-larut.


Yang jelas, isu ini sudah kadung jadi sorotan nasional dan mengundang kritik luas terhadap Kejaksaan.


Di tengah situasi politik yang kerap sensitif, penuntasan kasus ini bisa menjadi ujian serius: apakah hukum di Indonesia benar-benar adil, atau hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas?


Sumber: HukamaNews

Komentar