Ngaku Satu-Satunya Ketum Golkar Yang Makan Beras Subsidi: Cara Bahlil Memuji Dirinya Sendiri

- Jumat, 14 Februari 2025 | 10:05 WIB
Ngaku Satu-Satunya Ketum Golkar Yang Makan Beras Subsidi: Cara Bahlil Memuji Dirinya Sendiri


Ngaku Satu-Satunya Ketum Golkar Yang Makan Beras Subsidi: 'Cara Bahlil Memuji Dirinya Sendiri'


Oleh: Ali Syarief

Akademisi


Ketika seorang pemimpin berbicara tentang dirinya sendiri dengan penuh kebanggaan, seharusnya ada sesuatu yang lebih dari sekadar narasi personal. 


Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sekaligus Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia, baru-baru ini mengungkapkan bahwa dirinya adalah satu-satunya Ketua Umum Golkar yang pernah makan beras subsidi. 


Pernyataan ini ia sampaikan dalam acara ulang tahun ke-57 Fraksi Partai Golkar di Gedung DPR, Senayan, Jakarta. 


Sebuah pernyataan yang seakan ingin menunjukkan kedekatan dengan rakyat, namun justru terdengar seperti glorifikasi diri yang kurang relevan dengan substansi kepemimpinan.


Dari Sopir Angkot ke Ketum Golkar

Bahlil memiliki latar belakang yang inspiratif—dari seorang sopir angkot hingga menjadi menteri dan ketua umum partai besar. 


Namun, pertanyaannya adalah: apakah latar belakang itu cukup untuk memastikan kebijakan yang berpihak pada rakyat? 


Rakyat tidak membutuhkan romantisasi masa lalu seorang pemimpin. Yang dibutuhkan adalah kebijakan nyata yang berdampak langsung pada kesejahteraan mereka.


Dalam pidatonya, Bahlil menekankan bahwa ia memahami kesulitan rakyat karena pernah hidup dalam kondisi ekonomi sulit. 


Ia mencontohkan pengalamannya membeli beras subsidi saat tinggal di Papua, di mana selisih harga Rp 5.000 saja begitu berarti bagi keluarganya. 


Namun, alih-alih menjadi dorongan untuk membenahi sistem subsidi agar lebih efektif, pernyataan tersebut lebih banyak terkesan sebagai ajang pembuktian bahwa dirinya memiliki pengalaman personal dengan kemiskinan, seakan itu menjadi legitimasi mutlak atas kebijakannya.


Retorika yang Tidak Menjawab Kebutuhan Rakyat

Pujian terhadap diri sendiri dalam politik bukanlah hal baru. Namun, yang menjadi persoalan adalah ketika retorika personal tidak beriringan dengan kebijakan yang konkret. 


Halaman:

Komentar