'Gerakan Mahasiswa 98 dan Konflik Militer'
Hampir semua peristiwa besar di Tanah Air tidak bisa dipisahkan dari konflik internal militer, termasuk Gerakan Reformasi 1998.
Gerakan mahasiswa 1998 yang berkelindan dengan konflik internal militer berujung pada lengsernya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998.
Ada analisis yang mengatakan, dorongan Soeharto untuk menyatakan dirinya berhenti sebagai presiden lebih disebabkan oleh konflik di kalangan pendukungnya sendiri, salah satunya adalah mundurnya secara mendadak sejumlah menteri yang dimotori Ginanjar Kartasasmita.
Patut juga disebut nama Harmoko (saat itu Ketua DPR RI), pendukung setia Soeharto selama puluhan tahun, yang secara ajaib balik kanan ketika mengusulkan agar Soeharto mundur.
Sudah menjadi pengetahuan bersama, Gerakan Reformasi 1998 secara kebetulan beririsan dengan konflik internal militer antara Jenderal Wiranto (Akmil 1968, Panglima TNI saat itu) dan Letjen Prabowo Subianto (Akmil 1974, Pangkostrad), dua figur militer yang sejatinya sama-sama dekat dengan Soeharto.
Sebenarnya masih ada satu poros lagi, yakni kubu Benny Moerdani, yang terkesan pasif sepanjang Mei 1998. Benny sendiri diketahui sebagai musuh lama Prabowo.
Konflik Tipis-tipis Prabowo dan LBP
Gerakan Reformasi 1998 mengingatkan kita pada Peristiwa Malari (1974), yang juga diwarnai konflik internal militer.
Dalam perkembangannya, bacaan publik terhadap Gerakan Reformasi 1998 dan Peristiwa Malari terombang-ambing di antara dua wacana yang sama kuat: konflik internal militer atau gerakan mahasiswa itu sendiri.
Dalam Peristiwa Malari, konflik internal militer dimaksud adalah rivalitas antara Ali Murtopo dan Jenderal Soemitro (Pangkopkamtib/Wapangab). Wacana rivalitas ini hampir menutupi substansi gerakan mahasiswa.
Baru bertahun-tahun kemudian, semuanya menjadi jelas bahwa motivasi utama peristiwa Malari sebenarnya adalah penentangan terhadap rezim militeristik Soeharto. Namun, penguasa maupun pelaku gerakan menyamarkan motivasi tersebut.
Gerakan mahasiswa berjalan paralel dengan rivalitas militer. Setelah Malari, Soemitro memilih pensiun dini, sementara Ali Murtopo dikurangi peran politiknya.
Ali kemudian menjadi Menteri Penerangan (1978–1983), jabatan formalitas yang jauh dari passion-nya sebagai perwira intelijen.
Ia wafat pada usia 60 tahun (Mei 1984), dan bisa dikatakan mengorbankan kesehatannya demi prinsip yang diyakininya.
Situasi berbeda terjadi menjelang Mei 1998. Para perwira yang terlibat masih relatif muda. Prabowo belum genap 50 tahun, demikian juga Wiranto serta tiga jenderal lain yang dianggap sebagai proxy Benny Moerdani (Hendro Priyono, Agum Gumelar, dan Luhut Panjaitan). Kini, para elite tersebut tampak solid mendukung Prabowo.
Artikel Terkait
Oknum Brimob Aniaya Mantan Pacar di Binjai: Kronologi & Proses Hukum Terbaru
Wamenag Zainut Tauhid Saadi Minta Gus Elham Hentikan Aksi Cium Anak Perempuan yang Viral
Roy Suryo Bandingkan Perjuangan Kasus Ijazah Jokowi dengan Pangeran Diponegoro
Kisah Sembuh dari Gagal Ginjal Stadium 5: Transplantasi di RSCM Berhasil