'Jokowi Sudah Tak Punya Jurus Mengelak Lagi'
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
Sudah lama saya mencium bau anyir ini, meski kata sebagian orang hidung saya bukan hidung intel.
Tapi begitulah, aroma busuk tidak perlu hidung canggih untuk mengendusnya.
Cukup sedikit nurani dan secuil akal sehat yang belum tersumpal sogokan proyek atau janji kursi.
Dan kini, setelah pengakuan Kasmujo — nama yang barangkali akan segera dicatat dalam bab penting sejarah republik — tak ada lagi ruang bagi Jokowi untuk bersembunyi di balik kabut narasi atau tumpukan berkas istana.
Sekarang beliau sudah bukan presiden. Tapi anehnya, malah terasa seperti baru benar-benar telanjang.
Dulu, setiap kali rakyat menyoal soal ijazah, soal keabsahan masa lalunya sebagai mahasiswa UGM, selalu saja ada tembok kekuasaan yang menghalangi.
Pengacara bersuara, buzzer menyalak, dan istana pura-pura tak tahu-menahu.
Tapi kini, semua perlindungan itu mulai rontok satu per satu, seperti cat palsu yang terkelupas diguyur hujan kebenaran.
Kasmujo, yang selama ini disematkan sebagai pembimbing skripsi Jokowi, akhirnya buka suara.
Dengan nada tenang dan tanpa pretensi, ia menyatakan bahwa dirinya bukan pembimbing skripsi, bukan dosen penguji, bahkan bukan bagian dari proses akademik Jokowi di UGM.
Kalimat sederhana itu meledak lebih keras daripada ledakan petasan di malam pergantian tahun.
Ia seperti palu godam yang menghantam tembok pertahanan terakhir: “Siapa sebenarnya Jokowi di masa kuliahnya?”
Sudah saatnya Jokowi berhenti memainkan jurus lama: lempar batu sembunyi tangan, nyengir di depan kamera, dan mengalihkan isu lewat seremoni pembangunan jalan tol atau bandara di tanah hutan.
Rakyat bukan lagi bocah ingusan yang bisa dikibuli dengan pencitraan.
Kita ini bangsa besar, katanya, tapi masak iya, kepala negara kita harus diselamatkan terus-menerus oleh tukang gugat, tukang klarifikasi, dan tukang framing?
Pilihan sekarang cuma dua: jujur atau terus gatal-gatal. Karena dosa yang ditutup-tutupi itu, seperti penyakit kulit, makin lama makin bikin perih.
Apalagi kalau tiap malam harus tidur di ranjang pensiunan kekuasaan yang empuk, tapi digigiti rasa takut akan terbongkarnya rahasia masa lalu.
Ini bukan perkara ijazah semata. Ini perkara kejujuran, integritas, dan harga diri republik.
Tapi saya tahu, dalam sejarah republik ini, pemimpin yang mengaku salah itu lebih langka dari macan tutul di Pulau Jawa. Biasanya, mereka lebih suka menyalahkan setan, mantan, atau oposisi.
Lebih suka bikin drama seolah sedang dizalimi oleh rakyatnya sendiri. Padahal, yang menzalimi rakyat itu ya mereka yang memimpin dengan dusta.
Jokowi bisa saja tetap diam, pura-pura tuli terhadap suara Kasmujo, dan berharap isu ini surut ditelan berita-berita lain. Tapi sejarah tidak bisa dihapus dengan gergaji listrik.
Ia akan tetap mencatat, bahwa di tengah gemuruh slogan “merakyat,” kita pernah dipimpin oleh seorang pria yang bahkan untuk menyodorkan ijazah pun perlu bantuan pengacara.
Tinggal kita tunggu, apakah beliau akan membuka mulut dengan jujur, atau terus menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal.
Sebab kalau tidak jujur sekarang, nanti akan lebih malu ketika rakyat menulis sejarah sendiri — bukan dari buku teks, tapi dari luka dan ingatan.
Wallahu a’lam bis showab.
Artikel Terkait
Mendagri Tito Gagal Total Selesaikan Empat Pulau
TERBONGKAR! Pengakuan Buzzer Marcella Santoso, Penyebar Konten RUU TNI dan Indonesia Gelap: Alihkan Isu Penangkapan Koruptor Kakap
Soal Aktivis yang Ditangkap Paspampres saat Kunjungan Gibran, Polisi: Hanya Dihalau saja
2 Pulau di Indonesia Dijual di Situs Asing, Publik Ngamuk: Kayak Jualan Kacang