Anthony Budiawan mengungkapkan indikasi mark-up yang kuat berawal dari keputusan pemerintah menggeser Jepang dan memilih China sebagai kontraktor. Awalnya, tawaran China sebesar US$5,5 miliar bersaing dengan Jepang sebesar US$6,2 miliar. Jepang akhirnya digugurkan karena meminta jaminan APBN, sementara China menawarkan skema business-to-business (B to B).
Namun, janji tanpa campur tangan APBN itu pupus pada 2021 ketika Presiden Joko Widodo mengeluarkan Perpres No. 93 Tahun 2021 yang membuka pembiayaan APBN melalui Penyertaan Modal Negara (PMN) dan penjaminan untuk proyek KCJB.
Perbedaan paling mencolok terletak pada suku bunga pinjaman. Jepang menawarkan bunga 0,1% per tahun, sedangkan China mematok 2% per tahun—atau 20 kali lebih mahal. Dengan mengabaikan komponen bunga, Anthony menghitung adanya manipulasi serius yang membebani negara.
Biaya Proyek Membengkak dan Ancaman Gagal Bayar
Proyek ini juga mengalami pembengkakan biaya (cost overrun) sebesar US$1,2 miliar, sehingga total nilainya mencapai US$7,22 miliar. Biaya per kilometer Whoosh menjadi US$50,5 juta, jauh lebih tinggi daripada proyek serupa di China yang berkisar US$17-30 juta per km.
Anthony menduga kuat hal ini disebabkan oleh mark-up yang "sangat kasar". Lebih parah lagi, kelebihan biaya yang dibiayai utang (sekitar US$900 juta) dikenai bunga lebih tinggi, yaitu 3,4% per tahun—34 kali lipat dari penawaran Jepang.
Akibatnya, total bunga pinjaman proyek kereta cepat Whoosh kini mencapai US$120,6 juta per tahun, membuat PT KCIC kesulitan membayar bunganya dan berisiko masuk kategori gagal bayar (default).
Sumber: https://www.inilah.com/dugaan-mark-up-whoosh-cisa-desak-aparat-penegak-hukum-selidiki-kemenhub-kcic
Artikel Terkait
Melda Safitri Bantu Suami dari Nol, Belikan Baju Korpri Hasil JgoJualan Cabai & Sayur
Dedi Mulyadi Bongkar Fakta Mengejutkan: Sumber Air Aqua Ternyata Tak Sepristine Iklan!
Viral di Purbaya! Demul Numpang Beken, Ini Fakta di Baliknya
Heni Mulyani Mantan Kades di Sukabumi Senyum Lebar Usai Korupsi Uang Desa Rp 500 Juta