SIMAK! Jejak Jokowi & Luhut di 'Skandal' Tambang Nikel Raja Ampat
Oleh: Christovita Wiloto
Di Atas Karang, Di Bawah Kekuasaan
Sinar mentari pagi memantul di permukaan laut biru Raja Ampat.
Di bawahnya, koral dan biota laut membentuk ekosistem yang sejak lama dipuja para ilmuwan dan wisatawan dunia.
Namun, sejak ditetapkan sebagai bagian dari UNESCO Global Geopark pada 2023, wilayah ini justru menjadi incaran kekuatan-kekuatan besar yang rakus.
Alih-alih menjadi kawasan lindung, Raja Ampat kini menjadi monumen kegagalan negara menjaga masa depan ekologisnya.
Di sinilah, jejak kekuasaan mantan Presiden Joko Widodo dan Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan terendus jelas.
Skandal tambang nikel yang menyeruak di awal Juni 2025 tak hanya menyisakan kerusakan terumbu karang dan air yang keruh, tapi juga serpihan kepercayaan rakyat kepada negara.
Kunjungan Bahlil Lahadalia pada 7 Juni 2025, hanya menambah teka-teki besar yang menuntut pengusutan menyeluruh.
Konteks Strategis: Raja Ampat, Ancaman dalam Keindahan
Sebagai jantung biodiversitas dunia, Raja Ampat memiliki posisi strategis bukan hanya secara ekologis tapi juga secara geopolitik.
Lautnya menyimpan cadangan nikel laterit bernilai tinggi yang diburu untuk memenuhi industri kendaraan listrik global.
Dalam narasi pembangunan hijau Jokowi, nikel menjadi bahan bakar utamanya.
Namun ironi itu nyata: tambang yang disebut-sebut sebagai tumpuan masa depan justru merusak masa depan.
Investigasi lapangan mengungkap kerusakan berat—sedimen tambang menyebar mematikan koral, menggusur nelayan lokal, dan menghancurkan habitat yang menjadi basis ekonomi komunitas adat.
Aktivitas tambang oleh PT Metra Mineral Pradana dan anak-anak perusahaannya terus berjalan tanpa konsensus warga dan tanpa penilaian AMDAL yang kredibel.
Dampak Sosial-Ekologis: Laut Mati dan Suku Terluka
1. Kerusakan Koral dan Deforestasi Laut
Kegiatan tambang memicu deforestasi skala besar di kawasan pesisir, mempercepat sedimentasi yang menyelimuti terumbu karang. Data LSM lingkungan menunjukkan 35% karang di area tambang kini mati.
2. Gangguan Kehidupan Nelayan dan Suku Lokal
Air yang keruh akibat limbah tambang menyebabkan hasil tangkapan ikan merosot. Suku-suku lokal kehilangan akses terhadap laut yang telah mereka jaga turun-temurun. Ketergantungan pada hasil laut kini berubah menjadi ketergantungan pada uluran pemerintah.
3. Pola Serupa di Sulawesi dan Halmahera
Artikel Terkait
DPR Desak Aturan Umrah Mandiri: Perlindungan Jamaah atau Industri Terguncang?
Kemensos Perbarui Data Tunggal Sosial: Kunci Bansos Tepat Sasaran & Antisipasi Bencana
Usul Mencengangkan: Pemilu 2029 Bisa Dicoblos 1 Minggu, Ini Kata Politikus PKS!
E-Voting Pemilu 2029: Bawaslu Dukung Penuh untuk Efisiensi & Transparansi