Komentar Fadli Zon disebut memicu kenangan menyakitkan dari kekacauan mematikan yang melanda Jakarta dan tempat lain.
“Apakah Fadli Zon tidak pernah membaca tentang pemerkosaan massal dalam kerusuhan 1998 atau apakah dia benar-benar mengetahui insiden tersebut tetapi memilih untuk menyangkal?” tulis media tersebut mengutip unggahan @BangJerrrr di platform media sosial X.
Kontroversi tersebut juga menimbulkan pertanyaan tentang motivasi politik atas pernyataan Fadli Zon dan proyek untuk merevisi sejarah Indonesia untuk menghasilkan sebuah buku sejarah “resmi”.
Ada juga kekhawatiran bahwa ini adalah upaya untuk mengecilkan episode sensitif politik di masa lalu.
Menurut Straits Times, Peristiwa 1998 juga telah menjegal Presiden Prabowo Subianto selama bertahun-tahun dalam upayanya menjadi kepala negara RI.
“Dia adalah mantan komandan jenderal Kopassus (Komando Pasukan Khusus) dan telah dituduh terlibat dalam penculikan para aktivis dan mengatur kerusuhan tahun 1998, tuduhan yang telah berulang kali dibantahnya. Dia juga mantan menantu Soeharto. Prabowo menikah dengan Siti Hediati Hariyadi, putri Bapak Suharto, pada tahun 1983. Mereka bercerai pada tahun 1998,” demikian bunyi warta media Singapura tersebut.
Straits Times juga mengutip pernyataan Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, yang menyebut pernyataan Fadli Zon sebagai “kesalahan fatal” dan penyangkalan arogan terhadap fakta pemerkosaan massal terjadi.
Sebab, kata dia, fakta-fakta yang ditemukan tidak dapat dikategorikan sebagai rumor karena mereka dikonfirmasi oleh laporan dari tim pencari fakta.
“Laporan itu dilakukan oleh satuan tugas pencarian fakta bersama yang terdiri dari berbagai kementerian, termasuk Kementerian Pertahanan, Kementerian Kehakiman dan Kejaksaan Agung yang dibentuk oleh Presiden Habibie saat itu,” kata Usman.
Mantan Kepala Kepolisian Republik Indonesia atau Kapolri Oegroseno juga mengutuk Fadli Zon.
“Fadli Zon, jika Anda tidak tahu situasi di lapangan pada tahun 1998, Anda tidak boleh banyak bicara. Orang-orang yang menjadi korban merasa terluka oleh pernyataan Anda,” tulis jenderal polisi bintang tiga itu dalam sebuah posting Instagram pada 17 Juni.
Asia News Network juga menyoroti penyangkalan Fadli Zon terhadap pemerkosaan massal selama kerusuhan Mei 1998 yang telah memicu gelombang kecaman.
Media yang berpusat di Bangkok ini mewartakan, kelompok hak asasi manusia memperingatkan Fadli Zon bahwa hal itu mencerminkan upaya yang berkembang untuk membersihkan masa lalu Indonesia yang kejam dan menghapus penderitaan yang telah lama diabaikan.
“Pernyataan Fadli memicu reaksi keras dari para aktivis hak-hak perempuan, sejarawan, pendukung para penyintas dan anggota komunitas Tionghoa-Indonesia, yang menuduh menteri mendistorsi sejarah dan melanggengkan budaya penyangkalan,” tulis media tersebut.
Asia News Network mengutip pernyataan sejarawan dan aktivis Ita Fatia Nadia, yang bekerja erat dengan para penyintas pemerkosaan Mei 1998.
Ita menuding Fadli “menipu publik” dan menuntut agar dia mencabut pernyataannya dan meminta maaf kepada para penyintas dan keluarga korban.
“Sebagai Menteri Kebudayaan, dia harus membantu kita membangun kembali ingatan kolektif, bekerja menuju reparasi dan membantu bangsa sembuh. Sebaliknya, dia menghapus sejarah dan menyebabkan rasa sakit bagi mereka (yang mengalami apa yang terjadi pada 1998),” kata Ita, Jumat.
Sumber: Tempo
Artikel Terkait
Prabowo Beri Julukan Don Si Kancil ke Dasco & Pesan Legacy untuk Kader Gerindra
Roy Suryo Diperkirakan Lanjut ke Pengadilan Terkait Kasus Ijazah Palsu Jokowi
Jusuf Kalla Buka Suara Soeharto Jadi Pahlawan Nasional: Kita Harus Terima Kenyataan
Roy Suryo Ditahan, Ijazah Jokowi Akan Diuji di Sidang: Fakta Terbaru