PARADAPOS.COM - Koordinator Komite Pemilih Indonesia Jeirry Sumampow menyoroti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pemilu nasional dan pemilu lokal atau daerah langsung yang menjadi perhatian besar publik. Dalam putusan ini, pemilu nasional akan terdiri dari pemilihan presiden dan wakil presiden, serta pemilihan anggota DPR RI dan DPD RI. Sementara itu, pemilu daerah mencakup pemilihan gubernur, bupati/wali kota, serta anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.
Selama ini, kata Jeirry dalam keterangannya yang diterima Inilah.com di Jakarta, Jumat (27/6/2026), sistem pemilu serentak membuat semua proses pemilihan digelar di hari yang sama, dengan lima surat suara dan lima kotak suara untuk dipilih sekaligus.
Menurut dia, maksud awalnya jelas, yaitu menyederhanakan pemilu, menghemat waktu, menghemat anggaran, dan memperkuat sistem presidensial. Namun dalam praktiknya, sistem ini justru menimbulkan beban luar biasa bagi penyelenggara, membingungkan pemilih, dan bahkan menyebabkan kelelahan massal yang menelan korban jiwa.
"Dengan pemisahan ini, saya kira, MK seperti ingin membuka jalan baru, yaitu agar proses pemilu berjalan lebih tertata dan berkualitas," ucap Jeirry.
Pemilih diberi ruang untuk fokus pada isu nasional saat memilih Presiden, DPR RI dan DPD RI, lalu bisa benar-benar memperhatikan persoalan lokal saat memilih kepala daerah dan anggota DPRD. Hal ini tentu bisa mendorong rasionalitas pemilih dan memperkuat kualitas demokrasi.
Lebih jauh, ujar Jeirry, pemisahan ini juga memberi peluang lebih besar bagi tokoh-tokoh lokal yang punya kapasitas dan rekam jejak baik. Mereka kini bisa bersaing secara lebih mandiri tanpa bergantung pada popularitas capres atau partai besar di tingkat nasional. Efek “ekor jas” di mana suara untuk caleg atau calon kepala daerah ikut terdongkrak oleh kandidat presiden bisa diminimalisasi.
Dari sisi teknis penyelenggaraan, dalam pandangan dia, pemisahan ini juga memberi harapan. Beban kerja KPU, Bawaslu, dan petugas di lapangan bisa terbagi. Tidak lagi harus menangani lima surat suara dan lima kotak suara dalam satu waktu, yang selama ini memicu kekacauan logistik dan kelelahan luar biasa. Dalam jangka panjang, ini bisa menyelamatkan kualitas pelaksanaan pemilu dan bahkan keselamatan petugas.
"Namun, kita juga tidak bisa menutup mata bahwa pemisahan ini menimbulkan tantangan baru," tutur Jeirry.
Pertama, lanjut dia, dari segi anggaran, yakni dua kali pemilu besar dalam satu siklus lima tahun berarti biaya dua kali lipat. Negara harus menanggung ongkos logistik, distribusi, pengamanan, dan honor petugas dua kali. Hal ini berpotensi menjadi beban fiskal yang berat, apalagi jika tidak disertai efisiensi.
Kedua, yaitu masyarakat akan dihadapkan pada intensitas politik yang makin tinggi. Frekuensi ke TPS bertambah. Jika tidak dikelola dengan baik, ini bisa menimbulkan kejenuhan atau apatisme politik. Partisipasi pemilih bisa menurun karena merasa bosan atau tidak melihat perubahan nyata dari satu pemilu ke pemilu berikutnya.
Sedangkan ketiga, potensi munculnya politisi “lompat panggung” makin besar. Karena waktu pemilu berbeda, mereka yang gagal di pemilu nasional bisa langsung mencalonkan di pilkada atau sebaliknya.
"Politik jadi ajang coba-coba, bukan lagi soal pengabdian. Demokrasi bisa terjebak pada pola pikir jangka pendek dan kepentingan elektoral belaka.Lalu, apakah putusan ini baik bagi pertumbuhan dan perkembangan demokrasi kita? Jawabannya, bisa iya dan bisa tidak" kata Jeirry.
Artinya, sambung dia, jika dikelola dengan benar, putusan ini bisa menjadi peluang besar untuk memperbaiki kualitas demokrasi elektoral. Masyarakat bisa lebih jernih menilai calon pemimpin. Proses pemilu lebih tertib dan fokus. Tokoh-tokoh lokal punya ruang lebih luas untuk tampil.
Namun sebaliknya, tanpa kesiapan yang matang dari sisi regulasi, penyelenggaraan, edukasi publik, partisipasi rakyat, hingga anggaran, putusan ini justru bisa menimbulkan beban baru. Yang tadinya ingin menyederhanakan, bisa-bisa malah makin merepotkan.
Karena itu, ia menegaskan, tantangan ke depan adalah bagaimana pemerintah, DPR, penyelenggara pemilu, partai politik, dan masyarakat sipil bisa segera beradaptasi. Regulasi harus segera direvisi dan momentumnya pas, sebab revisi UU Pemilu sedang bergulir di DPR. "Dan yang paling penting, masyarakat harus dilibatkan secara aktif dan diberi pemahaman agar tidak cuek dan apatis dalam berpartisipasi," tegas Jeirry.
Lebih jaun dia menambahkan bahwa putusan MK ini memang agak mengagetkan namun menimbulkan tantangan baru. Sebab putusan MK sifatnya final dan mengikat, maka harus dilaksanakan.
"Apakah Putusan MK ini akan membawa perbaikan atau justru jadi masalah baru, sangat bergantung pada bagaimana kita menyiapkan langkah selanjutnya. Demokrasi yang baik bukan hanya soal hari pencoblosan, tapi juga soal bagaimana semua proses dijalankan dengan jujur, adil, efisien, dan berorientasi pada rakyat," tuturnya menerangkan.
Sumber: inilah
Artikel Terkait
Momen Libur Sekolah, Jokowi Temani Cucu Liburan, Akui Kesehatannya Baik, tapi Masih Proses Pemulihan
DPR Tak Bacakan Surat Pemakzulan Gibran Pancing Kemarahan Publik
Menteri Karding Minta Warga Cari Kerja di Luar Negeri: Bantu Kurangi Pengangguran!
Prabowo ke Bahlil: Terima Kasih Telah Bekerja Sangat Baik Tanpa Kepentingan Pribadi!