Akademisi Ingatkan Prabowo: Pak Presiden, Jangan Diteruskan Kegelapan Jokowi!

- Sabtu, 23 Agustus 2025 | 07:25 WIB
Akademisi Ingatkan Prabowo: Pak Presiden, Jangan Diteruskan Kegelapan Jokowi!


Pak Presiden, Jangan Diteruskan Kegelapan Jokowi!


Oleh: M. Isa Ansori

Pegiat Perlindungan Anak dan Sosial di LPA Jatim

Akademisi di STT Multimedia Internasional Malang

Dewan Pakar LHKP PD Muhammadiyah Surabaya, Wakil Ketua ICMI Jatim


Sejarah bangsa ini mencatat, masa kepemimpinan Joko Widodo bukanlah era keemasan sebagaimana propaganda yang dipertontonkan rezimnya, melainkan sebuah zaman kegelapan demokrasi


Demokrasi yang diperjuangkan dengan darah dan air mata reformasi, kini justru dikangkangi di bawah kekuasaan Jokowi.


Hukum, yang seharusnya menjadi panglima, justru berubah menjadi instrumen politik kekuasaan. 


Keadilan dijalankan sesuai selera penguasa: tajam ke lawan politik, tumpul ke kawan. 


Banyak kasus yang melibatkan lingkar kekuasaan dibiarkan tanpa proses hukum yang jelas, sementara lawan-lawan politik dikriminalisasi dengan pasal karet, dipermalukan dengan tuduhan yang dipaksakan, hingga dilenyapkan ruang geraknya.


Inilah wajah kegelapan itu: persengkokolan trias politikaeksekutif, legislatif, dan yudikatif – yang seharusnya saling mengawasi, malah bersekutu dalam menjaga kepentingan penguasa. 


Semangat reformasi yang dulu lahir untuk memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), justru kembali subur di bawah Jokowi. 


Negeri ini dipertontonkan bagaimana anak dan keluarga presiden dimuluskan jalannya oleh hukum yang sudah dikangkangi: Gibran tiba-tiba bisa menjadi calon wakil presiden lewat putusan MK yang sarat konflik kepentingan, sementara menantu dan kerabat lain dengan mudah menempati jabatan publik.


Sementara itu, para penjilat penguasa dilindungi oleh hukum. Siapa pun yang setia membela rezim, seakan kebal hukum. 


BUMN dijadikan bancakan, dijarah habis-habisan, hanya demi melanggengkan kepentingan politik dan oligarki. 


Tidak ada lagi keteladanan moral. Negara terperosok dalam budaya transaksional yang merusak sendi-sendi keadilan dan demokrasi.


Kini, rezim Jokowi telah usai. Tapi Prabowo mewarisi puing-puing kegelapan itu. 


Pertanyaan besar muncul: apakah Prabowo akan melanjutkan tradisi kegelapan ini, atau berani menyalakan obor baru untuk membangkitkan kembali marwah demokrasi dan keadilan hukum?


Prabowo harus membuktikan janjinya, bahwa ia bukan bayang-bayang Jokowi. 


Sebab di sampingnya memang ada Gibran, anak haram konstitusi, hasil persekongkolan politik dan hukum yang dipaksakan. 


Namun kehadiran Gibran tidak boleh menjadi penghalang bagi Prabowo untuk menegakkan janji dan sumpahnya.


Presiden Prabowo harus berani menindak tegas mereka yang selama ini menjadi penjilat Jokowi dan bersembunyi di balik kekuasaan. Jangan biarkan hukum kembali tumpul terhadap mereka.


Tangkap dan penjarakan, siapa pun yang sudah terbukti melanggar hukum, baik itu Silvester, Budi Arie, maupun tokoh-tokoh lain yang sudah inkrah. Inilah saatnya menunjukkan bahwa hukum benar-benar panglima, bukan pelayan kekuasaan.


Namun, bila kegelapan itu terus dipelihara, jangan pernah berharap rakyat akan diam. 


Sejarah Indonesia sudah berkali-kali membuktikan, rakyat kecil, mahasiswa, buruh, emak-emak, akademisi, hingga kelompok kritis lain akan bangkit melawan ketika ketidakadilan semakin nyata. 


Mahasiswa tidak akan tinggal diam melihat konstitusi diinjak-injak. Buruh akan kembali ke jalan, menolak kebijakan yang hanya menguntungkan pemilik modal. 


Emak-emak, yang menjadi penjaga dapur keluarga, akan bersuara lantang ketika harga-harga melambung sementara negara sibuk mengurus oligarki. 


Akademisi dan cendekiawan pun tak segan mengingatkan bahwa republik ini dibangun atas dasar kedaulatan rakyat, bukan atas dasar kedaulatan keluarga penguasa.


Masa kegelapan Jokowi telah menciptakan jurang sosial: kemiskinan seolah didesain, sementara segelintir orang di lingkaran kekuasaan menumpuk kekayaan lewat proyek-proyek negara. Bila kondisi ini diteruskan, maka perlawanan rakyat hanyalah soal waktu. 


Gelombang ketidakpuasan bisa berubah menjadi badai besar yang akan mengguncang fondasi kekuasaan siapa pun yang berkuasa, termasuk Prabowo.


Karena itu, Pak Presiden, jangan lanjutkan kegelapan itu. Saatnya cahaya keadilan dinyalakan kembali. Saatnya hukum menjadi milik rakyat, bukan milik penguasa. 


Saatnya semangat reformasi yang diperjuangkan mahasiswa, buruh, rakyat kecil, dan para pejuang bangsa dihidupkan kembali.


Prabowo punya kesempatan emas untuk membuktikan dirinya sebagai pemimpin sejati. 


Komitmen untuk memberantas korupsi harus dimulai dari lingkarannya sendiri: membentuk kabinet yang bersih, transparan, bebas dari titipan oligarki, dan berani menindak siapa pun yang melanggar hukum. 


Tanpa langkah itu, janji untuk tidak menjadi bayang-bayang Jokowi hanya akan menjadi retorika kosong.


Sebagaimana pernah diingatkan Amien Rais, Bapak Reformasi, bahwa “kekuasaan tanpa kontrol akan melahirkan tirani.” 


Begitu pula Gus Dur yang selalu menegaskan, “Tidak penting siapa presidennya, yang penting rakyat mendapat keadilan.” 


Pesan-pesan itu seharusnya menjadi pegangan moral bagi Prabowo: kekuasaan yang tidak dijalankan dengan amanah dan keberanian, hanya akan menjadi pengulangan sejarah kegelapan.


Sejarah menunggu pembuktian: apakah Prabowo benar-benar pemimpin yang berani keluar dari bayang-bayang Jokowi, atau hanya menjadi perpanjangan tangan oligarki yang selama ini menjarah republik. Pilihan itu ada di tangannya.


Bangsa ini sudah terlalu lama hidup dalam kegelapan. Kini, rakyat menaruh harapan agar Prabowo tidak menambah bab baru dari masa kelam itu. ***

Komentar