Narasi yang lahir dari situasi itu bisa melemahkan legitimasi pemerintah, membuka ruang bagi suksesi kekuasaan lebih cepat dari yang seharusnya.
Muslim menjelaskan bahwa isu DPR menjadi pemicu utama.
Di tengah kondisi ekonomi rakyat yang sulit, pemberitaan soal tunjangan DPR mudah membakar emosi publik.
Pada saat bersamaan, kesalahan aparat dalam menangani massa justru memperkuat kesan bahwa pemerintah gagal menjaga rakyatnya.
Kondisi ini semakin berbahaya, kata Muslim, karena meskipun secara formal Prabowo didukung mayoritas koalisi di parlemen, loyalitas politik tidak sepenuhnya utuh.
“Sebagian partai masih setia pada Jokowi. Di sinilah celah dimainkan. Prabowo dikesankan tidak mampu mengendalikan negara, sementara Gibran diproyeksikan sebagai alternatif penerus,” ungkapnya.
Dalam kalkulasi Muslim Arbi, bila opini publik terus tergerus, tekanan politik bisa diarahkan pada opsi konstitusional: presiden mundur dan digantikan wakil presiden.
Meski tudingan Muslim Arbi bersifat politis dan belum terbukti secara independen, faktanya keresahan rakyat benar-benar dipicu oleh kebijakan DPR dan adanya korban jiwa akibat salah prosedur aparat.
Situasi ini membuat narasi “skenario” mendapat ruang di tengah masyarakat.
Untuk meredam gejolak, sejumlah langkah dianggap penting: DPR perlu mengkaji ulang privilese yang memicu kemarahan publik, kepolisian wajib menjalankan investigasi transparan atas tragedi Senayan, dan pemerintah harus membuka ruang dialog luas dengan mahasiswa serta masyarakat.
Tanpa itu, potensi krisis kepercayaan akan terus membesar dan bisa dimanfaatkan oleh kelompok politik tertentu.
Sumber: JakartaSatu
Artikel Terkait
Darurat Sampah Indonesia: Penanganan Baru 24%, Menteri Tetapkan Status Darurat
Ijazah S1 Jokowi Diklaim Palsu oleh Sosiolog Hukum UNJ: Fakta & Analisis Hukum
UGM Tolak Uji KHS Jokowi oleh Pihak Eksternal, Dituding Proteksi Presiden di Sidang KIP
Kebocoran Percakapan Prabowo-Sjafrie: Motif Pengkhianatan dan Ancaman Intelijen bagi Indonesia