SETARA Institute Sebut Presiden Prabowo Melanggar Undang-Undang, Publik Harus Menolak, Ini Penjelasannya!

- Kamis, 28 Agustus 2025 | 19:45 WIB
SETARA Institute Sebut Presiden Prabowo Melanggar Undang-Undang, Publik Harus Menolak, Ini Penjelasannya!




PARADAPOS.COM - Baru-baru ini Presiden Prabowo Subianto bikin kejutan untuk rakyat.


Namun, kejutannya bukan sesuatu yang positif, melainkan hal buruk.


Yakni pemberian penghargaan berupa Bintang Mahaputera terhadap 141 tokoh, baik yang masih hidup maupun almarhum.


Di mata Presiden Prabowo, ke-141 tokoh itu berjasa besar bagi bangsa Indonesia, sehingga layak diganjar penghargaan Bintang Mahaputera.


Terkait penghargaan ini, Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi, minta publik harus menolaknya.


Sebsb kata Hendardi, penghargaan ini terkesan asal, dan kental nuansa subjektivitas dari Presiden Prabowo.


Presiden Prabowo dianggap Hendardi mengabaikan fakta sejarah dan hukum terhadap tokoh yang mendapat penghargaan itu.


Hendardi selama ini dikenal sebagai aktivis hak asasi manusia (HAM) dan tokoh pluralisme.


Sepak terjang pria yang lahir pada 13 Oktober 1957 di Jakarta ini tak perlu diragukan lagi, karena selama lebih dari empat dekade dalam memperjuangkan demokrasi, keadilan sosial, dan keberagaman.


Hendardi menilai Penganugerahan Bintang Mahaputera kepada 141 tokoh tersebut bertentangan dengan UU No. 20 tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. 


Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan adalah regulasi resmi yang mengatur mekanisme pemberian penghargaan negara kepada individu, institusi, atau organisasi atas jasa luar biasa mereka bagi bangsa dan negara.


Apalagi ada sejumlah nama yang dianggap tak layak mendapatkan Penganugerahan Bintang Mahaputera dari Presiden Prabowo itu.


Dia mencontohkan, nama Burhanuddin Abdullah, Wiranto, Teddy Indra Wijaya hingga Bahlil Lahadalia


Hendardi menilai subjektivitas Presiden sebagai Kepala Pemerintahan sangat nyata dalam pemberian Bintang Mahaputera tersebut. 


Anugerah Tanda Kehormatan adalah bentuk penghargaan resmi dari Negara Republik Indonesia yang diberikan kepada individu, kelompok, atau institusi atas jasa luar biasa, pengabdian, dan prestasi yang berdampak signifikan bagi bangsa dan negara.


Hendardi menyebut, Pasal 2 UU No. 20 tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan menegaskan sejumlah asas yang melimitasi secara ketat pemberian gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan, antara lain asas kemanusiaan, asas keteladanan, asas kehati-hatian, asas keobjektifan, dan keterbukaan.


"Penganugerahan Bintang Mahaputera pada tahun 2025 harus ditolak karena beberapa alasan yang secara substantif bertentangan dengan asas-asas dalam UU tersebut," kata Hendardi, Kamis (28/8/2025). 


Hendardi kemudian menyebutkan 5 alasannya:


Pertama, menurut Hendardi, beberapa figur secara objektif terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia masa lalu, utamanya Tragedi HAM 1998 dan Pelanggaran HAM seputar Referendum Timor Leste, seperti Wiranto. 


Kedua, Presiden juga memberikan Bintang Mahaputera kepada eks narapidana korupsi, Burhanuddin Abdullah. 


Hendardi mengatakan, publik mencatat dengan baik bahwa Burhanuddin merupakan salah satu ‘arsitek’ ekonomi pemerintahan Prabowo.


Namun, statusnya sebagai eks koruptor harusnya menjadikan Burhanuddin Abdullah tidak layak menyandang Tanda Kehormatan yang sangat tinggi sekelas Bintang Mahaputera. 


Kasus korupsi Burhanuddin Abdullah adalah salah satu skandal besar yang melibatkan pejabat tinggi di sektor keuangan Indonesia. 


Burhanuddin adalah mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) periode 2003–2008.


Pada tahun 2008, ia dinyatakan bersalah dalam kasus penyalahgunaan dana milik Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) senilai Rp 100 miliar.


Burhanuddin bersama tiga Deputi Gubernur BI lainnya--Aulia Pohan, Bun Bunan Hutapea, dan Aslim Tadjuddin--terbukti menyetujui penggunaan dana tersebut secara tidak sah.


Burhanuddin Abdullah divonis 5 tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor Jakarta pada 29 Oktober 2008.


Dia juga didenda Rp 250 juta, subsider 6 bulan kurungan.


Hakim menyatakan Burhanuddin bersalah karena menyetujui pengambilan dana meski ia sendiri sempat ragu dan bergantung pada pendapat anggota dewan gubernur lainnya.


Alasan ketiga mengapa penganugerahan tanda kehormatan ini harus ditolak menurut Hendardi, karena Presiden secara subjektif memberikan Bintang Kehormatan kepada para pembantunya di Kabinet Merah putih, dari Teddy Indra Wijaya hingga Bahlil Lahadalia. 


"Publik secara massif mempertanyakan melalui media sosial dan media alternatif lainnya, apa jasa para Menteri yang baru menjabat dengan penunjukan politik (political appointment) Presiden itu?" ujarnya. 


Hendardi juga menilai integritas para menteri yang mendapatkan anugerah Bintang Mahaputera tersebut tidak terbukti teruji.


Bahkan beberapa nama menteri penerima Bintang Mahaputera itu disebut-sebut dalam kasus korupsi. 


"Keempat, penolakan publik yang luas, dari akademisi dan intelektual sampai para aktivis masyarakat sipil, juga pertanyaan-pertanyaan mereka atas integritas dan jasa besar para penerima Bintang Mahaputera itu menunjukkan proses profiling calon penerima Bintang Mahaputera tidak terbuka dan tidak melibatkan publik," ungkapnya.


Selain itu, kata Hendardi, proses penganugerahan Bintang Mahaputera yang serampangan tersebut, selain menurunkan kredibilitas dan nilai dari penghargaan negara itu, juga akan menjadi preseden bagi Presiden dan Pemerintahan dalam jangka panjang. 


Presiden kata Hendardi, sudah pasti tidak akan menganulir pemberian Bintang Mahaputera tersebut.


"Tapi publik mesti mengingatkan Presiden bahwa tindakan negara, termasuk dalam bentuk pemberian Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan harus tunduk pada hukum negara," ujarnya. 


Karena menurutnya, mengabaikan hukum dan peraturan perundang-undangan merupakan bentuk pelanggaran serius atas Sumpah Presiden sendiri yang diucapkan dalam Pelantikan.


Sumber: Tribun

Komentar