Adanya koalisi permanen jadi jalan bagi Prabowo untuk memastikan suara atau elektabilitas tidak menurun jelang pilpres.
Sebab dengan dihapusnya ambang batas pencalonan, ia menilai akan terjadi lebih banyak manuver dari partai politik khususnya sejak dua tahun jelang pemilu.
Menurutnya, partai tak segan melepas kursi menteri di kabinet apabila dapat meningkatkan elektabilitas dan mengusung pasangan calon sendiri.
Namun, kondisi berbeda dengan Gerindra dan Prabowo jika ditinggalkan oleh KIM Plus. Elektabilitas yang seharusnya menjadi daya tawar sebagai petahana bisa jadi jeblok jelang pilpres.
"Karena dia ingin menyelamatkan suaranya. Kehilangan 3 atau 4 kursi di kabinet bagi partai politik apalagi menjelang akhir pemerintahan Prabowo tidak akan ada persoalan. Tapi kalau dipermanenkan mereka jadi terikat dengan komitmen," kata Asrinaldi.
Upaya pertahankan dukungan
Senada, Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno menyebut usul koalisi permanen sengaja dilempar Prabowo untuk memastikan seluruh proyek mercusuarnya tidak akan mendapatkan resistensi atau perlawanan dari siapapun.
Menurutnya, Prabowo tidak ingin kepemimpinannya seperti periode awal Presiden Joko Widodo (Jokowi) di tahun 2014, yang tidak bisa berbuat banyak lantaran mayoritas partai di DPR berada di pihak oposisi.
"Prabowo ada pengalaman traumatik sepertinya, supaya kebijakan-kebijakan yang saat ini diusahakan yang sangat powerful, sangat Prabowo style, tidak mendapatkan perlawanan dari kawan-kawan," kata Adi.
Meskipun saat ini Prabowo telah memiliki dukungan dari 80 persen kursi di DPR, Adi menyebut koalisi permanen tetap menjadi penting untuk memastikan tidak ada pembelot di KIM Plus.
Adi mengatakan lewat usulan itu, Prabowo dinilai sedang berusaha memetakan kekuatan politik yang dimiliki ataupun yang berpotensi melawannya nanti.
Prabowo, kata dia, juga membuka pintu bagi partai-partai yang nantinya akan memilih jalan berhadapan dengan dirinya dalam kontestasi Pilpres.
Ketimbang tetap berada di jalan koalisi akan tetapi pada akhirnya akan melawan seluruh kebijakan yang diambil pemerintahan Prabowo-Gibran.
"Itu terjadi pada zaman Presiden SBY (Susilo Bambang Yudhoyono). PKS dan Golkar adalah 2 partai politik yang sering disebut sebagai oposisi dari dalam. Bahasa ekstrimnya menjadi duri dalam daging," ujar Adi.
"Tentu Prabowo tidak mau seperti itu. Kalau mau bersama ya dari sekarang lewat Koalisi Permanen. Kalaupun tidak mau ya seperti PDIP di luar sekalian," imbuhnya.
Sumber: CNN
Artikel Terkait
Modus Baru Pencurian Motor di Sekolah: Pura-pura Tanya Guru di SDN Lebak
Gus Ipul Gelar Doa Bersama Pemulung Bantargebang, Ajak Kenang Pahlawan Bangsa & Keluarga
Bandar Narkoba Muara Enim Diciduk, 97 Gram Sabu dan 150 Pil Ekstasi Diamankan Polisi
BMKG dan BNPB Modifikasi Cuaca Cegah Banjir Jakarta, Jabar, Jateng