PARADAPOS.COM - Sejumlah pihak mengkritik rencana Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang ingin menerapkan kebijakan baru bagi siswa yakni masuk sekolah pada pukul 06.00 WIB.
Dedi sebelumnya mengungkap rencana itu dengan tujuan menciptakan kebiasaan hidup disiplin.
Ia juga akan menerapkan jadwal masuk sekolah hanya sampai Jumat.
Ia bercerita saat menjabat sebagai Bupati Purwakarta, ia menjadi bupati pertama yang menerapkan sekolah sampai Jumat dengan jam belajar dimulai pukul 06.00.
"Enggak apa-apa jam belajarnya jam 6 pagi, tapi hari Sabtu libur. Setuju enggak?" kata Dedi dalam video yang diunggah di akun instagram pribadinya.
Dedi mengatakan saat ini SMA di Jabar sudah memberlakukan sekolah hanya sampai Jumat, tetapi SMP masih sampai Sabtu.
"Saya akan mengajak para kepala daerah, bupati dan wali kota, hari belajarnya sampai hari Jumat, Sabtu libur," ujar dia.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji mengatakan Dedi tidak bisa menyederhanakan masalah disiplin dan membebankannya kepada siswa.
Ia menjelaskan survei penilaian integritas yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2024 menemukan hasil ketidakdisplinan akademik yang tinggi di kalangan guru.
"Ini problemnya di level pimpinan, problemnya di level tenaga pendidik dan kependidikan, tapi kemudian dialamatkan kepada peserta didik. Jadi, enggak bisa menyederhanakan masalah begitu," kata Ubaid saat dihubungi, Selasa (3/6).
Ubaid mengatakan JPPI mendapat laporan dari masyarakat yang keberatan dengan rencana itu.
Ia menilai masuk sekolah pukul 06.00 terlalu dini. Ubaid mengatakan banyak orang tua yang butuh waktu untuk menyiapkan sarapan untuk anak sebelum berangkat sekolah.
"Kalau berangkat sekolah, tidak ada persiapan yang matang, baik secara fisik dan secara psikis, ya pasti proses belajarnya akan ngawur, enggak akan maksimal," kata Ubaid.
"Jam 6 itu terlalu dini ya. Itu justru membuat anak tidak siap, tapi dipaksa untuk siap," imbuh dia.
Ubaid mengatakan jika nantinya kebijakan itu diterapkan dan siswa masuk sekolah pukul 06.00, itu bukan karena kesadaran akan kedisiplinan. Namun karena takut dihukum.
"Kalau tidak ada kesadaran, hanya takut aturan, takut hukuman, maka sebenarnya itu hanya kepatuhan buta, ketaatan yang tidak berdasar, dan disiplin dilakukan karena di bawah tekanan. Itu sebenarnya bukan pendidikan karakter, tapi hanya menakuti saja, dan pasti tidak akan berkelanjutan. Tujuan utama pendidikan karakter itu malah gagal," katanya.
Lebih lanjut, Ubaid berpendapat untuk mendisiplinkan siswa secara efektif, Pemprov Jabar bisa menerapkan pendidikan karakter yang lebih holistik, bukan hanya sebatas mengatur jam masuk atau penguatan pada mata pelajaran.
Ia mengatakan perlu dilakukan penanaman kesadaran dan nilai-nilai seperti tanggung jawab, etika, disiplin melalui setiap aspek kegiatan belajar mengajar dan ekstrakurikuler.
"Peran guru sebagai teladan sangat krusial, mereka harus mampu menunjukkan perilaku disiplin dan menjadi panutan bagi siswa. Oleh karena itu, pelatihan bagi guru tidak hanya fokus pada metode pengajaran, tetapi juga pada pembentukan karakter," katanya.
Selain itu, penting juga untuk menjalin kemitraan erat dengan orang tua. Sekolah, kata dia, perlu mengadakan program edukasi dan diskusi dengan orang tua.
Dengan begitu, terjadi penyelarasan upaya pendisiplinan di rumah dan di sekolah. Siswa pun mendapat pembiasaan yang konsisten.
"Terakhir, menciptakan lingkungan sekolah yang aman, nyaman, dan kondusif akan secara alami mendukung terciptanya suasana disiplin dan fokus belajar," katanya.
Negara Maju Masuk Lebih Siang
Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim mengatakan pihaknya mendukung kebijakan Dedi menetapkan jam malam bagi siswa pada pukul 21.00.
Menurutnya, kebijakan itu salah satunya akan membuat siswa tidak begadang yang akan mengganggu tumbuh kembang.
"Tidak melakukan tindakan negatif lainnya yang akan mengganggu waktu belajar dan istirahat sehingga mendapatkan kualitas hidup dan kesehatan prima karena jam tidurnya cukup dan berkualitas," kata Satriwan.
Namun, ia berpendapat kebijakan masuk sekolah pukul 06.00 justru kontraproduktif dengan tujuan membangun kualitas hidup dan tumbuh kembang anak.
Ia mengatakan berbagai riset menunjukkan dampak negatif kurang tidur adalah anak akan sulit berkonsentrasi, penurunan daya ingat, gangguan metabolisme tubuh, sarapan bisa terlewatkan, kelelahan, kecemasan, bahkan penurunan prestasi akademik.
Satriwan mengatakan kebijakan masuk pukul 06.00 juga di luar kelaziman internasional.
"Malaysia, Cina, AS rata-rata masuk sekolah sekitar 7.30. Sedangkan India, Inggris, Rusia, Kanada, Korea Selatan masuk sekolah pukul 8.00. Lalu Singapura, Jepang masuk pukul 8.30. Semuanya dengan skema belajar 5 hari atau Senin - Jumat. Artinya negara-negara maju rata-rata masuk sekolah lebih siang," ujarnya.
Ia mengingatkan pada 2023 lalu, NTT pernah mencoba menerapkan kebijakan masuk sekolah pukul 05.00.
Setelah uji coba dan evaluasi di sekolah, lalu direvisi menjadi pukul 05.30 dan pada akhirnya kembali menerapkan masuk sekolah pukul 07.00.
Satriwan juga menyinggung soal akan banyaknya kesulitan dalam implementasi kebijakan itu.
"Akses ke sekolah yang jauh dari rumah siswa dan guru. Ketidaksediaan kendaraan umum pada jam berangkat sekolah. Risiko keamanan bagi siswa dalam keberangkatan, karena kondisi jalan sepi atau langit masih gelap," katanya.
Selain itu, guru dan orang tua siswa juga bakal terbebani karena harus menyiapkan sarapan dan bekal lebih awal.
Bagi orang tua yang punya anak cukup banyak, lebih merepotkan sebab harus membagi perhatian penyiapan lebih awal.
"Dengan skema belajar 5 hari sekolah ditambah masuk terlampau pagi dan pulang lebih sore, anak bisa saja melampiaskan kelelahan di sekolah itu pada Sabtu dan Minggu dengan aktivitas yang negatif dan destruktif seperti nongkrong, tawuran, dan bentuk pelampiasan lainnya," katanya.
Menurutnya, tujuan Dedi agar anak tidak malas, bersemangat ke sekolah, dan gemar belajar dengan mempercepat jam masuk sebenarnya tidak langsung berkorelasi satu sama lain.
Ia mengatakan membangun kualitas pembelajaran terletak dalam ekosistem pembelajaran di sekolah, pola asuh di rumah.
Satriawan menyebut akan percuma masuk terlalu pagi, tapi kualitas pembelajaran masih rendah.
Di sisi lain, ia mengatakan tantangan pendidikan di Jawa Barat cukup berat. Anak tidak sekolah di provinsi ini mencapai 660.447 anak, di antaranya yang dropout sebanyak 164.631 anak.
Data Kemendikdasmen, kata dia, mencatat Jawa Barat berada di urutan pertama nasional angka putus sekolah di jenjang SD.
"P2G menilai kebijakan pendidikan oleh KDM selama ini belum berdasarkan evidence based policy dan research based policy. Sehingga rapuh secara konseptual dan rentan untuk berubah secara drastis karena tidak kuat," katanya.
Sumber: CNN
Artikel Terkait
JK Singgung soal Ijazah: Simpan Aslinya, Nanti Jadi Gubernur Ditanya Tidak Ada, Memalukan!
Pemda Dapat Lampu Hijau Rapat di Hotel dan Anggaran Fantastis Hotel-Makan Menteri, Efisiensi Cuma Omon-omon?
RI Berencana Beli Jet Tempur China, Wamenhan: Apalagi Harganya Murah, Kenapa tidak
Wali Kota Solo Nyatakan Ayam Goreng Widuran Layak Makan dan Izinkan Buka Kembali