Mau Negara Selamat, Gibran Harus Dimakzulkan!

- Kamis, 26 Juni 2025 | 17:05 WIB
Mau Negara Selamat, Gibran Harus Dimakzulkan!


'Mau Negara Selamat, Gibran Harus Dimakzulkan!'


MAU NEGARA SELAMAT, GIBRAN HARUS DIMAKZULKAN. JOKOWI & KRONI ADALAH WABAH YANG HARUS DIBERSIHKAN.


HAL INI DISAMPAIKAN SUDIRMAN SAID DI PODCAST HERSUBENO ARIEF.


"BETAPA BURUKNYA PRAKTEK-PRAKTEK KENEGARAAN DI ERA JOKOWI. DAN SETELAH LENGSER TIDAK BERHENTI UNTUK CAWE-CAWE," ujar Sudirman Said dalam podcast yang tayang kemarin, Rabu, 25 Juni 2025.


"Memang daya rusaknya luar biasa.... betul-betul hancur... untuk mengembalikan butuh waktu yg lama... butuh pengorbanan... butuh keberanian untuk menyingkirkan orang2 yg ikut merusak negeriku... ayo pak Presiden...jangan pake lama...," komen netizen di Youtube.


SIMAK SELENGKAPNYA VIDEO


👇👇


[VIDEO]



Gibran Terancam Dimakzulkan? Begini Prosedur Pemberhentian Wapres Sesuai Konstitusi!




Forum Purnawirawan TNI mengusulkan 8 tuntutan. Satu di antaranya meminta Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka untuk diganti atau dimakzulkan sebagai pernyataan sikap terhadap kondisi terkini. 


Surat tersebut ditandatangani oleh 103 jenderal, 73 laksamana, 65 marsekal, dan 91 kolonel.


Pemakzulan hadir karena salah satu fitur dari sistem presidensial. Adanya pengaturan pemakzulan merupakan konsekuensi logis apabila suatu negara ingin memperkuat sistem presidensial. 


Sebelum amandemen, Indonesia tidak memiliki mekanisme yang cukup jelas perihal memakzulkan presiden dan atau wakil presiden di tengah masa jabatannya.


Makzul, pemakzulan, dan dimakzulkan merupakan kata khusus yang digunakan bagi presiden dan wakil presiden yang berarti diberhentikan, pemberhentian ini sesuai dengan Pasal 7A dan 7B UUD 1945.


Pasal 7A UUD 1945 menetapkan alasan-alasan pemakzulan presiden dan atau wakil presiden dalam masa jabatannya apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum. 


Seperti pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya. Kemudian terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden atau wakil presiden.


Pemakzulan presiden maupun wakil presiden ditentukan oleh suara mayoritas anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). 


Menjadi masalah, karena pemakzulan presiden dan atau wakil presiden hanya menggunakan proses politik dan tidak ada proses hukum di dalamnya. 


Padahal perlu diperhatikan, dalam mekanisme pemakzulan terdapat proses hukum dan proses politik.


Adapun tata cara pemberhentian presiden dan atau wakil presiden diatur dalam Peraturan MPR No. 1 Tahun 2024 pada Pasal 125 dan Pasal 126. 


Pasal 125  ayat (1) menyebutkan, “MPR hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. 


Sementara ayat (2) menyebutkan, “Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diusulkan oleh DPR”.


Kemudian Pasal 126 ayat (1) menyebutkan, “MPR wajib menyelenggarakan Sidang Paripurna MPR untuk memutuskan usul DPR mengenai pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden pada masa jabatannya paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak MPR menerima usul sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 ayat (2)”.


Kemudian, ayat (2) menyebutkan, “Usul DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 ayat (2) harus dilengkapi keputusan Mahkamah Konstitusi bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum, baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya maupun perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”.


Selain putusan MPR, pada Pasal 7B UUD 1945 menyebutkan, “Usul pemberhentian presiden dapat diajukan DPR kepada MPR hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada MK untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa presiden atau wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara dan tindak pidana berat lainnya atau presiden dan atau wakil presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan atau wakil presiden”.


Pengajuan permintaan DPR kepada MK hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR. 


MK wajib memeriksa, mengadili, dan memutus seadil-adilnya terhadap pendapat DPR tersebut, paling lama 90 hari setelah permintaan DPR diterima MK.


Apabila MK memutuskan bahwa presiden atau wakil presiden melakukan pelanggaran hukum, maka DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian presiden atau wakil presiden kepada MPR. 


Kemudian, MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutus usul DPR paling lambat 30 hari sejak MPR menerima usul tersebut. 


Perlu diketahui, proses peradilan dan putusan oleh MK adalah putusan yustisial. 


Sedangkan keputusan MPR adalah keputusan politik, yang bisa saja tidak memakzulkan presiden dan atau wakil presiden walaupun MK telah memutuskan hal terbuktinya pendapat DPR.


Meski demikian, bukan berarti keputusan politik mengesampingkan putusan yustisial. 


Hal pemakzulan presiden dan atau wakil presiden merupakan kewenangan MPR, bukan kewenangan peradilan.


Presiden dan wakil presiden yang dipilih secara langsung dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat, sehingga kedudukan presiden dan wakil presiden cukup kuat. 


Keduanya tidak dapat dijatuhkan secara politis dalam masa jabatannya. 


Artinya presiden dan wakil presiden tidak dapat dimakzulkan akibat putusan kebijakan yang ditetapkan atau dijalankan presiden dan wakil presiden dalam penyelenggaraan pemerintahan negara.


Sumber: HukumOnline

Komentar