Kudeta & SOB yang Gagal: Pertarungan Maut Penghuni Istana Menunggangi Aksi Demonstrasi 25 -28 Agustus

- Rabu, 03 September 2025 | 14:10 WIB
Kudeta & SOB yang Gagal: Pertarungan Maut Penghuni Istana Menunggangi Aksi Demonstrasi 25 -28 Agustus


MENUJU aksi 25 Agustus jejaring aktivis saling kopi darat, japri bertukar info. Agenda tanggal 25 siapa yang bermain? Dan, tak satupun mampu menjawab pertanyaan diatas. "Siapa yang bermain?" Juga berseliweran di banyak platform media interaksi publik ajakan aksi demonstrasi dengan tagar "98 Reborn" yang sangat mengganggu.  Dan diputuskan jejaring mahasiswa dan aktivis 98, buruh untuk tidak terlibat namun tetap mendukung gerakan kritis dan korektif atas   jalannya pemerintahan dan situasi kenegaraan yang tegang. 

Kepenatan rakyat banyak atas "siksaan negara" meningkat menjadi kemarahan. 

Dan, ketika rakyat marah tanpa tujuan kami yakin sepenuhnya, tak akan ada perubahan, yang pasti terjadi adalah kerusakan. Dan analisa kawan-kawan gerakan 98, aksi demonstrasi 25 Agustus akan di pakai oligarki jahat untuk  bertarung dengan kekuatan Presiden Prabowo. 

Di titik ini, kami sadar sepenuhnya aksi demonstrasi ini akan dimanfaatkan oleh kedua pihak untuk mendorong agenda masing-masing. Memperkuat   Kudeta atau pemberlakuan SOB (Staat van Oorlog en Beleg).  

Republik di Meja Perjudian 

Gerakan 25?"28 Agustus 2025 menandai babak baru dalam sejarah politik Indonesia. Ia bukan sekadar rentetan demonstrasi, melainkan sebuah pertarungan kekuasaan senyap yang melibatkan rakyat marah, oligarki jahat, aparat ambigu, dan Presiden yang ingin berdiri tegak tapi terjebak dalam "hutang budi" pada jejaring  lama. 

Dalam upayanya melepaskan belenggu rejim lama, "orang-orang"  Prabowo  menbayangkan SOB (Staat van Oorlog en Beleg) muncul sebagai jalan kontroversial untuk melepaskan diri. SOB menjadi instrumen revolusi hukum atau sekadar alat represi .

Kemarahan massa, korupsi warisan rezim Jokowi, ambisi Gibran untuk mewarisi kursi kepresidenan, perang intelijen antar-faksi, dan sikap aparat yang tak pernah benar-benar netral memperlihatkan bahwa Indonesia berada di tepi jurang krisis kebangsaan.

Luka Sepuluh Tahun: Kemarahan Massa pada Aparat

Gerakan ini tidak lahir di ruang hampa. Ia adalah akumulasi dari sepuluh tahun luka di bawah pemerintahan Jokowi. Kepolisian, alih-alih menjadi pengayom, berubah menjadi simbol represi: pembubaran paksa aksi, kriminalisasi mahasiswa, dan praktik korupsi yang merajalela.

Namun, di tubuh kepolisian sendiri, ambiguitas terjalin kuat. Kapolri Listyo Sigit Prabowo mencoba memainkan posisi ganda: di satu sisi berusaha loyal  kepada Presiden Prabowo, di sisi lain masih menjaga kedekatan dengan jejaring Jokowi yang membesarkan kariernya. Sikap ambigu ini menimbulkan krisis kepercayaan, baik di internal aparat maupun di mata rakyat.

Oligarki Jahat dan Kapitalis Birokrat: Dalang Kudeta Senyap

Dalam kemarahan massa, oligarki jahat dan kapitalis birokrat memainkan perannya. Mereka adalah elite yang menguasai tambang, perkebunan, migas, perbankan, hingga kursi birokrasi.

Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) mengikat oligarki tambang, Sri Mulyani menjaga pintu kas negara, Erick Thohir membangun kerajaan BUMN, dan Nadiem Makarim menjadikan pendidikan sebagai pasar neoliberalisme. Tetapi pusaran ini kian kompleks ketika muncul sosok lama: Riza Chalid, oligark minyak yang sejak lama dikenal sebagai “Raja Migas.”

Kemarahan Riza Chalid pada 25?"28 Agustus bukan tanpa alasan. Ia merasa terpinggirkan dalam skema energi Prabowo, yang mencoba mengurangi dominasi mafia migas dengan memperluas jalur diplomasi energi keluar dari jejaring lama. Bagi Mohre, kebijakan ini adalah ancaman langsung terhadap gurita bisnisnya. Kemarahannya menjelma menjadi manuver senyap, menyokong faksi ancient régime untuk mempertahankan pengaruh melalui dinasti Gibran.

Dengan demikian, oligarki tidak hanya menyusun strategi bertahan, tetapi juga melakukan serangan balik lewat jalur energi, media, dan intelijen.

Perang Intelijen: Arena yang Tak Terlihat

Gerakan 25?"28 Agustus juga adalah perang intelijen. Provokator disusupkan, informasi direkayasa, narasi dipelintir. Semua dilakukan untuk menggiring opini dan mengamankan posisi oligarki.

Ada dua poros besar dalam perang ini:

Poros ancient régime, dengan dukungan LBP, Riza Chalid, dan jejaring menteri dengan kontrol penuh Jokowi, mendorong ambisi Gibran.

Poros istana baru, di bawah Prabowo, mencoba menegakkan legitimasi melalui SOB dan otoritas kepresidenan.

Di tengahnya, Listyo Sigit Prabowo berperan sebagai faktor ketidakpastian. Polisi di bawah kendalinya tidak sepenuhnya berpihak ke Prabowo, tetapi juga tidak frontal melawan oligarki lama. Ambiguitas ini dimanfaatkan kedua kubu: bagi ancient régime, kepolisian bisa dijadikan tameng; bagi Prabowo, mereka tetap alat represi.

Ambisi Gibran: Dinasti dan Keuntungan Ancien Régime

Anak mami yang mengemas dirinya sebagai anak gaul dan sok populis namun sejatinya representasi politik jahat rezim lama adalah Gibran Rakabuming Raka. Sebagai Wakil Presiden, ia adalah pewaris langsung dinasti Jokowi. Ambisinya menjadi Presiden adalah proyek sistematis, bukan sekadar dorongan pribadi.

Jika Gibran naik menjadi Presiden, ancient régime akan memperoleh keuntungan besar:

Dinasti Jokowi mengakar dalam sistem politik.

Konsesi migas dan tambang oligarki aman, termasuk kepentingan Riza Chalid.

Skandal korupsi kabinet Jokowi terkubur.

Rezim lama tampil dengan wajah baru, muda, dan populis, tetapi tetap busuk di dalam.

Jalan Ekonomi Prabowo: Mengusung Ide Lama. Membunuh Pengaruh Lama. 

Prabowo mencoba keluar dari jejaring lama dan membangun otoritas sebagai Presiden baru. Kebijakan ekonominya mulai bergeser: IKN ditangguhkan, food estate dalam "pengawasan" ketat, hilirisasi mineral dengan  dikontrol penuh profesional?"semua adalah proyek mercusuar yang justru menguntungkan para pemain baru.

Di sinilah kemarahan Mohre a.k.a Riza Chalid kian relevan. Ia melihat kebijakan Prabowo sebagai peluang emas bagi oligarki lain, tetapi ancaman bagi penguasa lama migas. Dengan kata lain, jalan ekonomi Prabowo  menjauhi Jokowi, ini medan pertarungan baru antar-oligarki.

SOB: Instrumen Represi atau Jalan Revolusi Hukum?

Dalam hukum tata negara darurat, SOB (Staat van Oorlog en Beleg) adalah instrumen ekstrem. Ia memberi Presiden kekuasaan untuk menangguhkan hukum normal demi menyelamatkan negara.

Carl Schmitt menegaskan: “Sovereign is he who decides on the exception.”
David Dyzenhaus menyebut keadaan darurat sebagai jurisprudensi paradoks.
Giorgio Agamben menilai darurat sebagai zona abu-abu antara hukum dan politik.
Oren Gross menyebutnya sebagai extra-legal measures.
Bruce Ackerman menilai darurat sebagai constitutional moments.

Dalam konteks Indonesia 2025, SOB bisa menjadi jalan bagi Presiden untuk:

Mengadili oligarki jahat seperti Riza Chalid dan kroni migasnya.

Membongkar skandal korupsi menteri-menteri Jokowi.

Menetralisasi ambiguitas polisi di bawah Listyo Sigit.

Membuka ruang revolusi hukum dengan legitimasi rakyat.

Pertarungan Segitiga: Rakyat, Presiden, dan Oligarki

Gerakan 25?"28 Agustus menyingkap pertarungan segitiga:

1. Rakyat, yang marah dan menuntut perubahan sejati.

2. Prabowo, Presiden yang ingin menegakkan otoritas, tetapi terikat jejaring lama.

3. Oligarki jahat, dari LBP hingga Riza Chalid, yang lewat ambisi Gibran berusaha mempertahankan ancien régime.

Di tengah pusaran, Kapolri Listyo Sigit memainkan politik ambiguitas, menjaga jarak dari dua kutub kekuasaan, sambil memastikan posisinya aman. Dan di atas semua itu, Megawati Soekarnoputri masih menjadi patron politik strategis: dapat menentukan arah, apakah berpihak ke rakyat atau justru membiarkan oligarki berkuasa kembali.

Peta Jalan Menuju Res Publica: Mengapa DPR Di Sasar? 

Epicentrum Gerakan 25?"28 Agustus adalah momentum yang coba menduplikasi memori historis Gerakan Mahasiswa 98. Merebut dan Menduduki DPR berarti memenangkan pertempuran awal. Meski karut marut DPR tetaplah basis perwakilan rakyat dan legitimasi konstitusional. 
Hari-hari ini DPR memilik banyak agenda strategis  kenegaraan, diantaranya; Pengesahan Nota Keuangan menjadi UU APBN di bulan Oktober, RUU KUHAP, RUU Polri dan desakan UU Perampasan Aset (dan mungkin Pemakzulan Gibran). 

Agenda strategis ini dinilai berbahaya bagi semua kelompok kepentingan. Maka DPR/MPR  harus "dihancurkan" dan  dilumpuhkan. 

Gerakan 25 - 28 Agustus menunjukkan bahwa demokrasi prosedural Indonesia telah dibajak oleh oligarki, kapitalis birokrat, dan aparat yang tak pernah benar-benar netral. Kudeta senyap sedang dijalankan, dan masa depan republik dipertaruhkan. Sadar dengan skenario itulah dalam senyap aktivis 98 "Garis Waras" mengaborsi skenario dua kubu diatas. 

Selangkah lagi penggunaan SOB dapat dilakukan  oleh tangan Presiden. Apakah ia berani menggunakan SOB untuk mengadili para pengkhianat bangsa?"dari mafia migas seperti Riza Chalid, menteri-menteri korup, hingga aparat ambigu?"tanpa merusak HAM atau ia justru menyerah pada oligarki dengan membiarkan Gibran naik menjadi Presiden muda? 

Namun sejarah mengajarkan: SOB  (keadaan darurat) adalah pisau bermata dua. Ia bisa menjerumuskan bangsa dalam otoritarianisme baru, atau menjadi pintu pembebasan. Indonesia kini di meja perjudian masa depan dan Bandar tak pernah rugi. 

OLEH: FIRMAN TENDRY MASENGI
Penulis Advokat / Aktivis 98
______________________________________
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan PARADAPOS.COM terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi PARADAPOS.COM akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

Komentar