Maka, “pemazulan Gibran” adalah tafsir rakyat untuk memulihkan makna konstitusi, dan “adili Jokowi” adalah langkah moral agar sejarah tidak melupakan pengkhianatan terhadap demokrasi.
Gibran di Persimpangan Munafik
Apakah sowan ke Try Sutrisno dan SBY bisa menghapus fakta bahwa Gibran hanyalah produk cacat hukum?
Apakah berpose dengan senyum ramah mampu menutup mata rakyat dari praktik culas Jokowi yang menodai reformasi?
Kunjungan itu hanya memperlihatkan satu hal: Gibran panik. Ia berlari mencari restu, berharap para jenderal tua dan presiden senior bersedia menjadi perisai dari amarah rakyat.
Tetapi, politik tidak mengenal belas kasih. Silaturahmi tanpa keberanian moral hanyalah formalitas hampa.
Penutup: Rakyat Tidak Lupa
Manuver Gibran hanyalah sandiwara penunda badai. Pemazulan bukan mustahil bila rakyat merasa konstitusi terus diinjak-injak.
Jokowi pun tak bisa bersembunyi di balik dinasti: sejarah akan mencatat dan kelak menuntut pengadilan politik, bahkan bila itu tak pernah diwujudkan di ruang sidang pengadilan.
Rakyat mungkin diam, tetapi tidak lupa. Dan manuver Gibran hari ini hanyalah bukti bahwa dinasti Jokowi sedang gentar menghadapi murka sejarah.
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
Ferdy Sambo Pimpin Ibadah di Lapas Cibinong: Isi Khotbah & Kronologi Vonis Mati ke Seumur Hidup
Ancaman Nias Pisah dari Indonesia: DPRD Desak Status Bencana Nasional untuk Sumut
Asal Usul Lily Anak Angkat Raffi Ahmad & Fakta Viral Mirip Bobby Nasution
Kritik Tajam Denny Charter: Pernyataan Hasan Nasbi Soal Gorengan Sebabkan Deforestasi Dinilai Pengalihan Isu