Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Ficar Hadjar, menegaskan bahwa meskipun Pemilik PT Zahra Oto Mandiri (Uhud Tour) sekaligus Ketua Umum Asosiasi Mutiara Haji, Khalid Zeed Abdullah Basalamah (KZM/KB), telah mengembalikan uang sebagai barang bukti dalam kasus kuota haji, hal itu tidak serta-merta menghapus dugaan tindak pidana.
"Pengembalian kerugian negara karena korupsi tidak menghapuskan perbuatan pidananya, karena perbuatan itu sudah terjadi dan terbukti," kata Ficar saat dihubungi Inilah.com, Kamis (25/9/2025).
Menurut Ficar, pengembalian uang hanya bisa dipertimbangkan sebagai faktor yang meringankan hukuman.
"Pengembalian hasil korupsi itu hanya berpengaruh pada peringanan hukuman, tetapi tidak menghapuskan hukuman," ucapnya.
Ficar menambahkan, praktik pembagian kuota tambahan haji khusus yang melanggar aturan, mulai dari lobi biro travel melalui asosiasi kepada Kementerian Agama (Kemenag) hingga jual beli kuota antar biro travel maupun kepada calon jemaah, jelas masuk dalam tindak pidana korupsi, bukan tindak pidana pemerasan.
"Ya, semua kebijakan dan pelaksanaan haji yang tidak sesuai dengan aturan, termasuk pembagian kuota, dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi (tipikor)," tegas Ficar.
Konstruksi Perkara
Sebelumnya, KPK mengungkap adanya praktik jual beli kuota tambahan haji khusus bermasalah. Kasus ini bermula dari dugaan pengkondisian kuota haji khusus 2024 yang tidak sesuai aturan. Sebanyak 10.000 kuota diberikan kepada biro perjalanan haji swasta melalui lobi asosiasi travel kepada oknum pejabat Kemenag. Kuota tersebut kemudian dijual kembali, baik kepada biro lain maupun calon jemaah.
Penyebab utama praktik ini adalah adanya biro perjalanan yang belum memiliki izin sebagai Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK), sehingga mereka membeli kuota dari biro lain.
"Ada yang biro perjalanan ini mendapatkan kuota haji khusus dari biro perjalanan yang lain, karena memang ada beberapa yang misalnya belum punya izin untuk menyelenggarakan ibadah haji khusus, ada juga yang seperti itu," kata Jubir KPK, Budi Prasetyo, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Rabu (24/9/2025).
Lebih lanjut, kuota tambahan ini semakin menggiurkan karena adanya iming-iming bisa langsung berangkat pada tahun yang sama (T0) tanpa antre. Padahal, sesuai ketentuan, jemaah haji khusus tetap wajib menunggu giliran, meski antreannya lebih singkat dibanding haji reguler.
"Nah itu juga kita dalami kaitannya seperti apa, sehingga kemudian membuat para calon-calon jamaah yang baru ini tanpa perlu mengantre atau T0, bisa langsung berangkat," jelas Budi.
Menurut Budi, harga kuota yang dijual antar biro maupun kepada calon jemaah berbeda-beda. Namun, KPK belum bisa mengungkap detail nilainya karena masih dalam proses pendalaman.
"Karena memang tiap biro perjalanan juga berbeda-beda berapa jumlah kuotanya termasuk ketika melakukan jual beli kepada calon jamaah haji juga berbeda-beda harga yang dipatok," katanya.
Kasus dugaan korupsi kuota haji di Kemenag ini sudah naik ke tahap penyidikan sejak Jumat (8/8/2025), berdasarkan surat perintah penyidikan (sprindik) umum, meski belum ada penetapan tersangka. KPK memastikan segera mengumumkan pihak-pihak yang bertanggung jawab. Kerugian negara diperkirakan lebih dari Rp1 triliun.
Kasus ini bermula dari tambahan kuota 20.000 jemaah haji dari Pemerintah Arab Saudi kepada Indonesia, hasil pertemuan Presiden Joko Widodo dengan otoritas Saudi pada 2023. Kuota tambahan itu kemudian dilobi sejumlah pengusaha travel kepada oknum pejabat Kemenag, hingga terbit SK Menag pada 15 Januari 2024 yang membagi kuota tambahan secara merata: 10.000 untuk haji reguler dan 10.000 untuk haji khusus.
Dari kuota khusus, sebanyak 9.222 dialokasikan untuk jemaah dan 778 untuk petugas, dengan pengelolaan diserahkan kepada biro travel swasta. KPK menyebut ada 13 asosiasi dan 400 biro travel yang terlibat. Sementara itu, kuota reguler 10.000 jemaah didistribusikan ke 34 provinsi, dengan Jawa Timur mendapat porsi terbanyak (2.118 jemaah), disusul Jawa Tengah (1.682) dan Jawa Barat (1.478).
Namun, pembagian tersebut diduga melanggar Pasal 64 UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, yang mengatur komposisi 92 persen kuota reguler dan 8 persen kuota khusus.
Setelah itu muncul praktik jual beli kuota haji khusus, dengan setoran perusahaan travel kepada pejabat Kemenag sebesar USD 2.600–7.000 per kuota, atau sekitar Rp41,9 juta–Rp113 juta dengan kurs Rp16.144,45. Transaksi dilakukan melalui asosiasi travel sebelum diserahkan ke pejabat Kemenag secara berjenjang.
Dana tersebut berasal dari penjualan tiket haji dengan harga tinggi kepada calon jemaah dengan janji bisa berangkat pada tahun yang sama, khususnya 2024. Akibatnya, sekitar 8.400 jemaah reguler yang telah menunggu bertahun-tahun gagal berangkat karena kuotanya terpotong.
Hasil dugaan korupsi itu juga mengalir ke pembelian aset, termasuk dua rumah mewah di Jakarta Selatan senilai Rp6,5 miliar yang disita KPK pada Senin (8/9/2025). Rumah tersebut diduga dibeli seorang pegawai Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag menggunakan uang setoran dari pengusaha travel sebagai komitmen pembagian kuota tambahan haji yang melanggar aturan.
Klarifikasi Khalid
Sebelumnya, Khalid rampung menjalani pemeriksaan KPK sebagai saksi di kasus kuota haji pada Selasa (9/9/2025) malam selama hampir delapan jam, sejak pukul 11.03 WIB hingga 18.48 WIB.
Kemudian, menceritakan pengalamannya sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi kuota haji 2023–2024 di kanal YouTube Kasisolusi yang tayang pada 13 September 2025.
Khalid menjelaskan, awalnya ia bersama 122 jemaah haji Uhud Tour telah membayar visa haji furoda, termasuk akomodasi dan transportasi di Arab Saudi. Namun, Komisaris PT Muhibbah Mulia Wisata, Ibnu Mas’ud, menawarkan visa haji khusus yang merupakan bagian dari 20.000 kuota tambahan dari Pemerintah Arab Saudi. Visa tersebut diklaim resmi dan disertai fasilitas maktab VIP dekat Jamarat.
“Ini akhirnya menarik nih. Oh kami bisa masuk sini nih. Selain visanya resmi, kami juga bisa dapat maktab VIP,” kata Khalid.
Menurut Khalid, jemaah diminta membayar 4.500 dolar AS per orang. Namun, sebanyak 37 dari 122 jemaah belum diurus visanya dan diminta menambah 1.000 dolar AS. Uang tambahan itu diakui sebagai biaya jasa Ibnu Mas’ud.
“Terus saya bilang, kenapa tiba-tiba antum (Ibnu Mas’ud) minta jasa? Dia bilang, antum (Khalid Basalamah) ini kayak orang enggak ngerti,” kata Khalid.
“Antum sudah dibantu begini begitu, bahasanya sambil marah-marah. Antum, ustaz, masa antum enggak paham?” lanjutnya menirukan ucapan Ibnu.
Khalid mengaku keberatan karena sebagai ustaz ia harus memahami halal dan haram. Namun, Ibnu Mas’ud mengancam tidak akan melanjutkan pengurusan visa. Akhirnya, Khalid dan jemaah tetap membayar karena tidak mungkin mundur.
“Pokoknya jemaah Uhud sudah tidak boleh diurus, kecuali mungkin kalau kami bayar itu. Ya sudah kami bayar karena kami enggak mungkin mundur,” jelasnya.
Usai ibadah haji, Khalid mengaku Ibnu Mas’ud mengembalikan 4.500 dolar AS yang telah dibayarkan jemaah. Kemudian, KPK meminta uang itu dan ia mengembalikannya.
“Waktu KPK undang kami, kami datang. KPK pun meminta uang itu dikembalikan, kami kembalikan. Kami sudah ikuti semua prosedur,” kata Khalid.
Sumber: inilah
Foto: Pemilik agensi perjalanan haji PT Zahra Oto Mandiri atau Uhud Tour Khalid Basalamah berjalan untuk menjalani pemeriksaan di gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (9/9/2025). (Foto: Antara Foto/Reno Esnir/foc).
Artikel Terkait
Pengamat: Kata “Anjing” di Pidato Prabowo Tak Hanya Sindir Belanda
Kecam Netanyahu, Macron: Perang Total Israel Membunuh Warga Sipil, Bukan Menghancurkan Hamas
Sejauh Ini, Ini Analisis Paling Mantap: Analisis Kejanggalan Dokumen Kesetaraan SMA dan S1 Gibran!
Pidato di PBB, Presiden Petro Serukan Bangsa Dunia Satukan Tentara dan Senjata Bebaskan Palestina