PARADAPOS.COM - Video viral yang memperlihatkan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka tidak berjabat tangan dengan sejumlah ketua umum partai koalisi yang juga menjabat sebagai menteri, memicu spekulasi adanya retakan dalam Kabinet Merah Putih.
Namun, respons cepat melalui media sosial justru mengungkap bagaimana politik citra digital kini menjadi alat utama damage control pemerintahan.
Pengamat politik Adi Prayitno mengungkapkan bahwa kontroversi ini mencerminkan fenomena “bad news is good news” dalam politik Indonesia, di mana informasi negatif justru lebih menarik perhatian publik ketimbang keharmonisan yang seharusnya menjadi norma dalam pemerintahan.
Potongan video yang beredar sejak belakangan, memperlihatkan Gibran mengabaikan jabat tangan dengan empat figur penting koalisi: Agus Harimurti Yudhoyono/AHY (Ketua Umum Demokrat), Zulkifli Hasan (Ketua Umum PAN), Muhaimin Iskandar/Cak Imin (Ketua Umum PKB), dan Bahlil Lahadalia Ketua Umum Golkar).
“Dalam budaya politik ketimuran Indonesia, jabat tangan bukan sekadar formalitas, tetapi indikator chemistry dan hubungan politik,” ungkap Adi dalam analisisnya lewat akun YouTube-nya, Selasa (12/8/2025).
Menarik, kata Adi, publik tidak terlalu mempersoalkan jika Gibran tidak berjabat tangan dengan Zulkifli Hasan, Cak Imin, atau Bahlil yang dianggap masih dalam lingkaran dekat Jokowi.
“Namun dengan AHY, seakan-akan korespondensi persaingan politiknya selalu muncul,” jelasnya.
Merespons viral-nya video kontroversial tersebut, tim Gibran melakukan manuver cepat dengan mengunggah video “klarifikasi” di Instagram resminya hanya dalam waktu 18 jam.
Video tersebut menampilkan potongan-potongan yang menunjukkan Gibran berjabat tangan akrab dengan para menteri, termasuk AHY, saat menghadiri Upacara Gelar Pasukan Operasional di Lapangan Udara Suryadarma, Bandung Barat.
“Ini adalah upaya sistematis untuk mengamputasi spekulasi liar soal ketidakharmonisan dan rivalitas,” kata Adi.
“Video lengkap yang di-upload Gibran seakan-akan menghilangkan kesan negatif dan mengkounter narasi perpecahan.”
Strategi ini, menurut analis politik, mencerminkan bagaimana media sosial kini menjadi battlefield utama dalam politik Indonesia.
“Kita sangat tergantung pada apa yang kita konsumsi, apa yang kita lihat di media sosial setiap hari,” tambah Adi.
Munculnya video “klarifikasi” justru memunculkan pertanyaan kritis: mengapa pemerintahan perlu melakukan damage control jika memang tidak ada masalah internal.
Adi mengakui bahwa meski video lengkap menunjukkan keakraban, hal ini tidak serta merta meniadakan kompetisi politik yang sesungguhnya.
“Persaingan politik itu alamiah. Siapa yang bisa menjamin di 2029 AHY, Gibran, Zulkifli Hasan, Cak Imin, dan Bahlil masih berada dalam satu kubu?”
Terlebih dengan dihapuskannya ambang batas presiden 20 persen, praktis semua tokoh tersebut berpotensi menjadi kandidat di Pilpres 2029.
Artikel Terkait
SBY Buka Suara Soal Kemampuan Meramal Masa Depan: Bukan Klenik, Tapi Futurology
Amien Rais Klaim Jokowi Tidak Punya Ijazah, Tanggapi 8 Tersangka Kasus Polda Metro
Hoaks! Tangkapan Layar WA Hasto PDIP Soal Soeharto Terbongkar Palsu
Dukungan Pemerintah Rp 57 Juta/Tahun untuk Keluarga 10 Pahlawan Nasional 2025, Termasuk Gus Dur & Soeharto