Kembalinya Dwifungsi TNI dan Corak Militeristik Pemerintahan Prabowo-Gibran

- Jumat, 21 Februari 2025 | 07:40 WIB
Kembalinya Dwifungsi TNI dan Corak Militeristik Pemerintahan Prabowo-Gibran


'Kembalinya Dwifungsi TNI dan Corak Militeristik Pemerintahan Prabowo-Gibran'


Oleh: Karyudi Sutajah Putra

Pengamat Kebijakan Publik


Kamis (13/2/2025) lalu, Presiden Prabowo Subianto mengirimkan Surat Presiden (Surpres) kepada DPR RI untuk Revisi Undang-Undang (UU) No 34 Tahun 2004 tentang TNI. 


Berdasarkan Rancangan Revisi UU TNI 2024 yang diperoleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan (Koalisi RSK), terdapat beberapa perubahan yang akan mengembalikan peran dan fungsi sosial dan politik TNI seperti pada saat TNI menjadi tulang punggung pemerintahan rezim Orde Baru.


“Perubahan tersebut dapat memperluas penempatan di kementerian dan juga lembaga, serta perpanjangan masa pensiun prajurit. Koalisi memandang langkah ini menunjukkan cara pandang Presiden Prabowo Subianto terhadap sektor pertahanan yang masih sangat konservatif, tradisional dan non-reformis,” kata Ikhsan Yosarie dari Setara Institute yang merupakan bagian dari Koalisi RSK di Jakarta, Kamis (20/2/2025).


Berdasarkan draf Revisi UU TNI versi Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, kata Ikhsan, terdapat dua usulan perubahan yang bermasalah.


Pertama, adanya perluasan jabatan sipil yang dapat diduduki oleh prajurit TNI aktif. 


Hal tersebut dapat dilihat pada usulan perubahan Pasal 47 ayat (2) melalui penambahan frasa “serta kementerian/ lembaga lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian prajurit aktif sesuai dengan kebijakan Presiden”.


“Pasal tersebut membuka peluang yang cukup luas serta dapat memberikan ruang kepada prajurit TNI aktif untuk ditempatkan pada kementerian dan lembaga di luar dari 10 kementerian dan lembaga yang telah ditetapkan dalam UU TNI,” jelasnya.


Koalisi memandang, perubahan Pasal 47 ayat (2) ini sebenarnya tak lain merupakan upaya Prabowo untuk melegitimasi penempatan TNI aktif yang sudah dilakukannya secara tidak sah dan bertentangan dengan UU TNI sejak awal pemerintahannya berlangsung, misalnya dalam penempatan Mayor Teddy Wijaya sebagai Sekretaris Kabinet dan Mayjen TNI Novi Helmy sebagai Direktur Utama Perum Bulog.


“Parahnya, ketimbang melakukan evaluasi dengan mengacu kepada UU TNI, dalam konteks penempatan pada posisi Seskab, pemerintah justru melakukan akrobatik hukum dengan melakukan perubahan regulasi terkait struktur Seskab,” sesalnya.


Sebelumnya, dalam Peraturan Presiden (Perpres) No 55 Tahun 2020 tentang Sekretariat Kabinet, Pasal 1 ayat (1) mengatur bahwa Sekretariat Kabinet berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. 


Struktur ini kemudian diubah melalui Pepres No 148 Tahun 2024 tentang Kementerian Sekretariat Negara. 


“Sebab dalam Pasal 48 ayat (1) Perpres a quo, Sekretaris Kabinet disebutkan menjadi bagian dari Sekretariat Militer Presiden. Pengintegrasian dan/atau menempatkan Seskab sebagai bagian dari Sekretaris Militer Presiden (Sesmilpres) berimplikasi terhadap legitimasi penempatan prajurit TNI pada jabatan Seskab ”tertular” dari legitimasi penempatan pada jabatan Sesmilpres, mengingat Sesmilpres termasuk ke dalam ketentuan Pasal 47 ayat (2) UU TNI. 


Perubahan regulasi ini tentu tidak serta-merta mengubah analisis bahwa jabatan Seskab relevan untuk diduduki prajurit TNI. Artinya, mudah menganalisisnya bahwa perubahan ketentuan tersebut tidak dilakukan berdasarkan relevansi dan urgensinya,” paparnya.


Secara komprehensif, lanjut Ikhsan, Koalisi mencatat setidaknya terdapat 2.569 prajurit TNI aktif di jabatan sipil pada tahun 2023, di mana 29 prajurit di antaranya merupakan perwira aktif menduduki jabatan sipil di luar lembaga yang ditetapkan oleh UU TNI.


“Penempatan prajurit TNI aktif dalam jabatan sipil mengabaikan spesialisasi, kompetensi, pengalaman, serta masa pengabdian ASN di instansi terkait,” cetusnya.


Halaman:

Komentar